Minggu, 23 Oktober 2011

Sacrifice Of Love (cerpen)

Cinta adalah sebuah kata klise yang di ibarat kan sebagai wujud dari sebuah kasih sayang yang teramat sangat pada seseorang.

Cinta adalah sebuah gambaran akan sebuah keindahan dan kepedihan.

Cinta adalah sebuah janji Tuhan yang akan di berikan pada semua insannya

Cinta merupakan sebuah anugrah sekaligus suatu bencana dalam kehidupan ini

Dan ketika cinta itu datang. Menyelinap di antara pembuluh darah. Merasuk ke dalam sukma lalu bergerak ke relung-relung jiwa, saat itulah kau akan merasakan apa arti cinta itu.

Betapa dahsyat dan megahnya cinta itu



“Sus, tolong pria ini “, ujar seorang Ibu tergopoh-gopoh mengagetkan Shilla yang sedang melintas di koridor itu.

“Iya Ibu, dimana pasiennya?”, tanya Shilla sopan kepada ibu itu.

“Dia di mobil saya, bisa di bantuin sus. Tadi saya lihat dia jatuh pingsan di jalanan”, jelas ibu.

“Baik bu. Permisi”, kata Shilla masih sopan tapi ia tenang hal seperti ini adalah hal biasa. Dengan cepat Shilla memberitahu petugas lainnya lalu di hampirinya mobil si ibu tadi.
Shilla hanya tersenyum cuek ketika membawa pasien yang tergolek tak berdaya itu
ke ICU. Seperti biasa, ya memang seperti biasa karena inilah pekerjaannya
sebagai seorang suster. Pria ini kira-kira usianya 23 tahun dan ia adalah
seorang pria yang jelas terlihat tampan meski dalam balutan wajah pucat
sekalipun, penampilannya acak-acakkan tapi tetap saja wajahnya tak mendukung
jika orang berkata ia adalah seorang preman.



“Permisi dok.. Ada pasien baru di ICU”, kata Shilla begitu memasuki ruangan dokter umun yang akan memeriksa si pasien terlebih dahulu.

“Baik, ayo!”, jawab sang Dokter, dokter Gabriel. Sedangkan Shilla mengikutinya dari belakang , sambil membawa catatan yang selalu ia bawa kemana-mana untuk mencacat
perkembangan si pasien.

Shilla hanya mengangguk-angguk mengerti ketika sang dokter mendiktekan masalah-masalah yang di alami si pasien.

“Shill, kamu tolong panggil dr.Alvin ya. Saya rasa dokter Alvin lebih paham dengan pasien ini”, kata Gabriel lagi.

“Baik dok, permisi”, kata Shilla lalu pergi menemui dr.Alvin

Tak lama dr.Alvin datang ke ruang ICU masih diikuti oleh Shilla. Tanpa banyak bicara Alvin segera mengecek keadaan pria itu. Setelah semua dirasa selesai, dr.Alvvin melepaskan ujung stethoscope dari telinganya.

“Dugaan awal saya dia ini Hepatitis B. Kamu pantau terus keadaannya, kita cuma bisa pasang selang-selang infus dulu. Nanti baru bisa kita tangani selanjutnya. Kamu
jagakan malam ini?”, tanya dr.Alvin mulai bawel

“Iya dok”, kata Shilla menyanggupi. Begitu dokter pergi, Shilla mulai bekerja. 3tahun bekerja sebagai seorang perawat sudah cukup membawa Shilla menjadi seorang perawat yang mahir
dalam bidangnya. Tanpa harus bingung dan canggung, Shilla memasang semua
peralatan yang harus di lekatkan pada pria ini.

Di lihatnya sekilas pria itu,

“Masih muda udah kena penyakit seganas ini”, komentar Shilla mendengus. Muncul rasa iba di hatinya.

________________

Selama 3 hari terakhir ini pasien itu hanya terdiam dalam keadaan terpejam di tempatnya, ia koma. Namun ia telah di pindahkan ke kamar biasa, karena keadaannya tak begitu mengkhawatirkan untuk berada dalam ruang
ICU . Selama 3hari itu pulalah Shilla mondar-mandir ke ruang rawat pasien
tersebut untuk memastikan keadaannya. Dan hari ini untuk kesekian kalinya
Shilla kembali ke ruangan itu sambil membawa botol infus baru untuk pasien yang
tak diketahui identitasnya itu. Dengan telaten Shilla mencoba untuk mengganti
botol infus itu lalu menyuntikkan obatnya ke dalam infus tersebut. Setelah
semua selesai Shilla berniat untuk keluar dari ruangan itu sebelum ia melihat
jari-jemari pria itu berkedik. Shilla terdiam, di pastikannya lagi sosok pucat
itu. Tak ada perubahan apapun, Shilla memutuskan untuk pergi ketika di
dengarnya suara rintihan dari sosok itu. Di tolehnya kembali si Pasien. Dan
betapa senangnya Shilla ketika dilihatnya sepasang mata itu telah membuka dan
memandangnya dengan sayu.

“Anda sudah tidak apa-apa?”, tanya Shilla mencoba mengobrol dengan pasien itu. Si pasien hanya mengangguk lemah. Shilla tersenyum

“Saya panggilkan dokter dulu”, lanjut Shilla. Tanpa basa-basi Shilla mempercepat langkahnya ke lantai 2 ke ruangan khusus penyakit dalam, ruang kerja dr.Alvin

“Permisi dok. Pasien kamar 212 sudah sadarkan diri”, lapor Shilla

“Yang koma 3 hari lalu?”, kata Alvin memastikan

“Iya dok”, jawab Shilla. Dengan langkah terburu dr.Alvin berjalan menuju kamar itu. Di sana bisa di lihatnya pasien itu sedang terdiam dengan tatapan kosong dan muka pucat,
tampaknya sedang menyesali sesuatu.

“Anda sadar lebih cepat dari dugaan saya sebelumnya”,kata Alvin basa-basi lalu mulai mengecek keadaan si pasien.

“Sepertinya anda perlu di rontgen untuk mengetahui penyakit anda”, kata Alvin dengan berat hati

“Tidak perlu dok”, jawab si pasien

“Loh ini justru perlu sekali. Demi keselamatan anda sendiri, apa anda tidak mau sembuh?”, bujuk Alvin

“Saya tahu dok. Saya tahu saya sakit apa”, jawab sang pasien lirih. Alvin dan Shilla bertatapan kaget dan sedikit tak mengerti. Walaupun volume suaranya pelan tapi benar-benar
tak ada guratan kesedihan dalam kalimat pasien itu.

“Saya pengidap radang hati akut, tapi dokter tenang aja saya sudah bertahan selama 2 tahun terakhir”, jelas pasien itu.

“Kamu harus pendapatkan perawatan serius di sini, beruntung kamu di rawat di rumah sakit yang menangani lebih lanjut mengenai masalah hati”, kata Alvin sambil berlalu pergi, ada rapat
dewan rumah sakit siang ini, dan ia percaya Shilla mampu menjaga pasien ini

____________________

“Shil, gue kapan minum obatnya?”, tanya si Pasien ketika Shilla memasuki ruangannya pada suatu ketika. Pasien itu sudah 3 minggu di rawat di rumah sakit itu. Ternyata penyakit yang
diidap pasien itu memang benar-benar telah akut dan ia harus melakukan
transplantasi hati untuk kesembuhannya. Tapi ia harus menunggu seorang dermawan
yang mau mendonorkan hatinya. Jika adapun belum tentu hati itu cocok dengannya.
Tapi tak pernah sedikitpun Shilla melihat sorot putus asa dari matanya yang
sayu tapi menyimpan sebuah kobaran semangat yang dapat dirasakan semua orang
yang ada di dekatnya.

“Bentarlah cak.. Nunggu jamnya”, jawab Shilla pada pasien itu.

“Cak.. Cak.. Cak.. Lo pikir gue becak? Nama gue emang Cakka tapi gue gak suka dipanggil Cak”, kata si pasien yang notabene bernama Cakka itu.

“Terus apa Cak?”, tantang Shilla membulatkan matanya.

“Kka! Gue mau lo panggil gue kka”, paksa Cakka

“Enak juga manggil Cak! Cak”, kata Shilla ngotot

“Gue gak bakal konek lagi kalo lo panggil gue Cak”, jelas Cakka keras kepala

“Hehe, iya deh kka”, kata Shilla akhirnya dengan senyum geli yang begitu jelas terpancar.

“Ini gue kapan minum obatnya?”, tanya Cakka lagi

“Di bilang nunggu jamnya lo kok ngeyel”, jelas Shilla

“Yah, kapan gue mau sembuh kalo perawatnya aja males kayak lo! Harusnya gue minum obat yang banyak sekalian biar ceept sembuh!”, kata Cakka sok tahu

“Enak aja bilang males. Penghinaan itu namanya. Lagian kalo lo minum obat banyak sekalian yang ada lo malah cepet koit gara-gara overdosis”, kata Shilla asal

“Suster macem apa lo? Pasiennya malah di koit-koitin”, kata Cakka menaikkan alisnya

“Yah elo juga. Pasien macem apa? Harusnya dengan energi berlebihan kayak lo ini lo bisa marathon anyer-panarukan!”, ejek Shilla heran juga dengan pasien yang bawel banget kayak
Cakka. Bukan bawel gimana sih, tapi gak kayak orang sakitlah.

“Lo harusnya seneng di percaya dr.Alvin buat jaga gue. Jadi lo bisa makan gaji buta, soalnya gue gak pernah ngerepotin elo! Udah ah, capek gue di kamar gue pengen ke taman”, kata
Cakka sambil dengan gerakan cepat melompat dari tempat tidur.

“Pelan-pelan Cakka! Itu infus lo bisa copot lagi. Selama di rawat disini udah berapa kali itu infus copot hah?”, kata Shilla mengingatkan Cakka.

“hehe, iya!”, kata Cakka nyengir lalu berjalan keluar kamar meskipun wajahnya terlihat begitu bersemangat tapi toh langkahnya tidak bisa secepat orang normal biasanya.

“Gue bantuin”, kata Shilla menyusul Cakka sambil mencoba menuntun Cakka.

“Ngapain? Gue bisa jalan ndiri woy!”, tolak Cakka seolah-olah tak ada kesulitan yang ia hadapi. Shilla menurut saja mengikuti Cakka. Yang dapat ia lakukan hanyalah membawakan
infus Cakka.

Sebagai suster yang dipercaya menjaga Cakka secara intensif , Shilla tergolong akrab dengan Cakka. Cakka merupakan tipikal orang yang mudah bergaul dengan siapa saja karena
gayanya yang ceplas-ceplos dan begitu supel pada siapa saja, tapi yang paling
membuat ia di segani adalah semangatnya yang tak pernah redup. Selain itu
Shilla dan Cakka juga masih seumuran sehingga mereka dapat begitu dekat.

“Eh, Shil. Kita ke anak-anak kecil itu ya”, ajak Cakka tiba-tiba sambil menunjuk anak-anak kecil yang sedang bermain di taman bermain. Shilla hanya mengangguk.

“Hai adek, lagi apa?”, tanya Cakka menegur seorang anak yang sedang asik main pasir tapi sayangnya kepalanya di balut perban.

“Main pasir aja kak”, jawab gadis kecil yang malang itu.

“Kakak, ikutan ya”, bujuk Cakka. Lalu tanpa basa-basi lagi Cakka ikut bermain pasir bahkan bukan hanya dengan anak itu tapi juga dengan anak-anak lainnya yang kebanyakn adalah
anak-anak yang sedang sakit dan di rawat di rumah sakit itu sama sepertinya.

_______________________

“Ada apa dok?”, tanya Shilla begitu menemui dr.Alvin yang sedari tadi mencarinya

“Kamu dekatkan sama Cakka?”, tanya dr.Alvin tanpa basa-basi

“Mungkin bisa di bilang begitu dok”, jawab Shilla

“Saya bisa minta bantuan?”

“Mungkin bisa selagi saya mampu”

“Tolong kamu cari tahu alamat rumah keluarganya”

“Bukannya dalam pengurusan administrasi pasien harus menyertakan alamat rumah ya dok?”

“Iya, tapi itu adalah alamat rumah kontrakannya. Saya mau alamat rumah keluarganya. Bagaimanapun saya perlu membicarakan masalah transplantasi hati ini dengan keluarganya.
Berkali-kali saya tanya ke Cakka, dia tidak pernah mau menjawab”, jelas
dr.Alvin panjang lebar

“Saya coba dok”, kata Shilla ragu, bukanlah hal yang mudah untuk membujuk Cakka yang keras kepala.

___________

“Shil, lo suka nonton bola gak?”, tanya Cakka tiba-tiba setelah Shilla membantunya minum obat.

“Lumayan sih, seru gitu! Tapi sebenernya gue juga gak begitu ngerti”, jawab Shilla jujur

“Tadi gue sempet denger hari ini pembukaan piala dunia ya? Gue jadi gak tahu tanggal nih selama ada di sini, dan yang gue tahu pasti tim favorit gue bakal main hari ini. Spanyol
lawab Inggris. Pasri Spanyol menang, gue dukung Spanyol tahun ini”, kata Cakka
menggebu-gebu

“ Lo mau nonton?”, tanya Shilla

“Ya iyalah!”, jawab Cakka pasti

“Ya udah yuk, nonton di apotek aja!”, ajak Shilla. Cakka mengangguk setuju.

Selama pertandingan berlangsung Cakka terlihat begitu semangat dan antusias menyaksikan jalannya pertandingan. Bukannya melihat pertandingan Shilla justru memperhatikan pasiennya yang satu ini, pasien misterius yang
sudah ia rawat berminggu-minggu dan telah mengisi hidupnya yang cenderung
monoton. Tanpa ia sadari Shilla lama-kelamaan menikmati kebersamaan yang ia
habiskan seharian bersama Cakka. Shilla tersentak saat sosok yang terdiam
menatap layar kaca itu tiba-tiba terlonjak.

“GOL! Gol shil! Apa gue bilang Spanyol itu TOP banget!”, seru Cakka mengguncang pundak Shilla

“Ah, Iya-iya gue percaya deh”, komentar Shilla

“Piala dunia 2006 lalu, gue nontonnya bareng temen-temen gue di kampung. Pake TV nya pak RT, dan sekarang gue nontonnya di Rumah Sakit. Hidup itu emang gak bisa di tebak ya Shil”,
tiba-tiba saja Cakka bercerita yang membuat ia teringat akan permintaan
dr.Alvin tempo hari

“Di kampung? Emang asal lo dari mana?”, tanya Shilla mencoba se-relax mungkin agar Cakka tidak curiga

“Jauh Shil! Di daerah Sukabumi”, jawab Cakka kembali fokus pada layar Televisi

“Oh, nenek gue juga tinggal di sana, di daerah mana kka?”, tanya Shilla lagi. Lalu Cakka menyebutkan sebuah alamat di bawah kesadarannya. Ternyata tak sesulit yang ada
di benak Shilla untuk mengalihkan perhatian Cakka.

_______________

Dengan bingung Shilla mendekat ke sebuah rumah sederhana yang terletak di kampung kecil ini. Menurut kata Cakka disinilah alamat rumah keluarganya. Rumah ini begitu kecil tapi begitu menyenangkan untuk di pandang
karena begitu bersih dan menyejukkan dengan bunga-bunga kecil yang ada di
sekelilingnya

“Permisi”, kata Shilla sambil mengetuk pintu rumah itu. Tak perlu menunggu lama datanglah seorang ibu-ibu yang terlihat lebih tua dari umurnya

“Permisi bu, benar ini rumah keluarga Cakka”, tanya Shilla tanpa basa-basi

“Iya betul, masuk dulu nak!”, kata Ibu itu sambil mempersilahkan Shilla duduk.

“Cari Cakka ya? Tapi Cakkanya gak ada di rumah tuh. Dia ada di Jakarta”, jelas Ibu itu

“Kalo boleh tahu, kenapa ya Cakka ke Jakarta?”, tanya Shilla sambil mencoba mencari topik obrolan sebelum ke permasalahan utama

“Cakka ke Jakarta itu ya kerja lah nak. Dia kerja di perusahaan asuransi. Kasihan di masih muda tapi harus jauh dari keluarganya. Maklumlah nak, dia tulang punggung keluarga”, kata
Ibu itu begitu ramah jelas terpeta di matanya bahwa ia rindu dengan anaknya itu

“Oh begitu ya bu. Saya tadi belum memperkenalkan diri ya bu? Kenalkan saya Shilla , suster Cakka”, kata Shilla dengan maksud menjabat kembali tangan ibu Cakka. Namun sayang ibu
Cakka tak mengindahkan itu. Ibu Cakka justru diam mematung di tempatnya
seolah-olah masih mencerna kata-kata Shilla

“Sus..ter Cakka?”, ulang Ibu Cakka tak percaya

“Iya bu.. Maaf tapi saya memang harus memberi tahu Ibu. Sudah satu bulan ini Cakka di rawat di Rumah Sakit atas penyakitnya”, jelas Shilla sambil menguatkan dirinya sendiri
agar tega berkata sejujurnya pada Ibu ini walaupun terasa begitu pahit
untukknya

“Penyakit apa? Cakka sakit?”, jawab Ibu itu lagi dengan suara lirih

“Ibu tidak tahu? Anak ibu mengidap Hepatitis B akut. Selebihnya mungkin Ibu harus berbicara sendiri dengan dokternya”, jelas Shilla

____________________

“Shil, gue mau ngomong sama lo”, kata Cakka tanpa basa-basi begitu dilihatnya Shilla datang membawa sarapannya

“Ngomong apa?”, jawab Shilla santai sambil mencoba menyuapkan makanan ke Cakka tapi Cakka menolaknya

“Lo yang bawa nyokap gue ke sini?”, lanjut Cakka mengintrogasi

“Gue di suruh sama dr.Alvin kka”, jawab Shilla dengan berat hati.

“Lo gak usah lancang deh Shil”, kata Cakka dengan dagu yang mengeras. Sorot kemarahan terlihat jelas di matanya

“Tapi ini perintah Cakka. Lagian orang tua lo emang perlu tahu”, kata Shilla mencoba untuk tenang

“lo gak berhak kasih tahu orang tua gue! emang ada masalah apa sama gue? gue mau kan di transplantasi? gue juga bisa kan menuhi administrasi. terus apa alasan yang
ngebuat lo kasih tahu orang tua gue? lo LANCANG!”, Cakka berteriak-teriak dengan emosi yang
memuncak

“gue..”, kata Shilla tertahan, bagaimanapun ia tahu kalau dia memang lancang

“2 tahun Shil. 2 tahun gue sembunyiin ini dari nyokap dan keluarga gue! Gue gak mau bikin mereka sedih. Gue gak suka semakin ngebebanin mereka. Gue ini tulang punggung di
keluarga gue. Gue punya adik yang harus di sekolahin. Gue tahu nyokap gue
banyak masalah. Gue cuma gak mau nambahin itu! Karena gue tahu pasti gue harus
sembuh dan emang akan sembuh! Yang harus mereka tahu cuma 1. Gue! Cakka Kawekas
Nuraga bisa ngehidupin mereka. Thats it!”, lanjut Cakka masih penuh kemarahan

“Maaf, gue gak maksud ngerusak semua rencana lo”

“Tapi nyatanya lo emang udah ngerusak semuanya. Lo tahu, di hari gue jatuh pingsan dijalanan waktu itu. Gue habis dapet beasiswa musik ke luar negeri dan 2 bulan lagi gue bakal
berangkat. Itu hal yang paling di impiin sama nyokap gue. Dan gue pasti
ngewujud in itu. Sekali lagi Shil, karena gue pasti sembuh. Tapi yang ngebuat
gue kecewa. Kenapa nyokap gue harus tahu kalo gue sakit? Gue gak suka itu. Gue
benci kalo lihat nyokap gue nangis buat gue. Gue cuma mau lihat nyokap gue
seneng buat gue. Gue kecewa sama lo”, kata Cakka lagi penuh dengan emosi.

Sedangkan Shilla hanya terdiam merasa bingung dan terpojokkan oleh kata-kata Cakka yang terasa telak di hatinya. Air matanya juga sudah tak terbendung lagi. Mengapa harus ia yang
Cakka salahkan? Toh ini kan perintah dari dr.Alvin . Dia hanya menjalankan
saja. Sungguh tak pernah terbersit sedikitpun di benaknya akan reaksi Cakka
yang seperti ini.

“Lo mending keluar Shil. Gue perlu istirahat”, usir Cakka pada Shilla. Tanpa berkata apa-apa Shilla segera berlari keluar dari kamar Cakka

***

Berhari-hari ini Cakka masih saja marah dengan Shilla. Bahkan ia meminta pada dr.Alvin secara khusus agar Shilla tidak lagi merawatnya.Cakka tidak pernah mau berbicara dengan Shilla walaupun Shilla sering
kali datang menjenguk Cakka yang semakin drop dari hari ke hari. Tapi toh Cakka
tak pernah mempedulikannya. Sorot matanya selalu memancarkan kekecewaan yang
begitu besar pada Shilla. Tiba-tiba saja Cakka berubah menjadi sosok dingin
yang begitu mudah marah , dan suka menyendiri. Tak pernah lagi menemui sosok
Cakka yang menenteng infusnya kesana kemari di Rumah Sakit sambil sesekali
menghibur pasien-pasien lain dengan ocehannya terkadang dengan dentingan dari
gitarnya. Tak ada lagi sosok Cakka yang suka bermain pasir dengan anak-anak
kecil di taman bermain. Tak ada lagi sosok Cakka yang selalu ngotot minta minum
obat agar ia cepat sembuh. Yang ada hanyalah Cakka yang pasrah akan nasib dan
selalu berdiam diri di kamar. Dan jika ibu Cakka datang menjenguk Cakka. Cakka
pasti selalu berlagak kuat dan ceria seperti biasanya, padahal semakin hari
keadaan hatinya semakin memburuk. Di sisi lain tak ada lagi stok hati yang bisa
ditransplantasikan.

Hari ini Shilla mencoba menguatkan hatinya untuk menjenguk Cakka kembali dengam segala resiko yang akan ia hadapi. Dia merasakan sebuah perasaan kosong di jiwanya setelah Cakka marah-marah tempo hari. Ia
benar-benar merasa bersalah. Shilla
menarik nafas dalam-dalam sebelum memasuki ruang pucat Cakka. Betapa
terkejutnya ia ketika di lihatnya Cakka tergolek lemas di lantai dengan darah
yang memenuhi mulutnya. Shilla bisa memastika jika Cakka habis muntah darah
hebat. Bagaimana tidak, serprai, lantai , dan tembok kamar rumah sakit yang
semuanya berwarna putih itu kini di penuhi dengan bercak darah kental Cakka.

Shilla hanya bisa menangis hebat melihat keadaan Cakka yang seperti itu lalu dengan cepat ia memanggil petugas medis yang lain untuk membawa Cakka ke ICU.

***

Shilla terdiam di kamarnya, memandangi sosok dirinya yang tak menarik di balik baju putih pucat yang hampir setiap hari ia kenakan itu. Memandang matanya yang selalu sembab akhir-akhir ini karena Cakka. Seminggu ini
Cakka koma di rumah sakit. Radang di hatinya benar-benar telah akut dan
menggerogoti tubuh Cakka secara ganas. Setiap hari Shilla datang menghampiri
Cakka ke ruangan khusus itu hanya untuk mengelus rambutnya dan menyampaikan
permintaan maaf kepada Cakka dengan linangan air mata.

Sebesar itukah salah Shilla pada Cakka. Apakah kedatangan ibunya itu yang membuat Cakka menjadi begini? Apakah arti kehadiran seorang ibu dalam kesusahannya benar-benar suatu pantangan? Apakah Shilla yang selama ini
menemaninya benar-benar tak berarti bagi Cakka? Shilla benar-benar tak tahu.
Yang ia tahu sekarang Cakka benar-benar membutuhkan donor hati agar ia tetap
melanjutkan hidupnya lalu meraih semua mimpinya. Dalam isak bersalahnya ia
menjadi teringat akan obrolannya dengan dr.Alvin siang tadi

_Flashback-Turn-On_

“Dok, seberapa lama lagi Cakka akan bertahan?”, tanya Shilla kepada dokter Alvin

“Tak lama lagi. Hatinya semakin rusak dan sudah hampir tak berfungsi. Kita hanya bisa berdoa agar ada orang yang akan menndonorkan hatinya”, jelas dr.Alvin

“Kalau saya yang mendonorkan hati say bagaimana dok?”, tawar Shilla.

“Kamu jangan ngaco Shilla”, kata dr.Alvin meremehkan

“Saya serius dok. Saya sudah memikirkan ini masak-masak”, kata Shilla serius

“Tidak bisa Shilla. Kamu tahu sendirikan apa bayaran atas hal itu?”, jawab dr.Alvin mencoba santai

“Nyawa dok. Saya tahu itu”

“Nah itu kamu tahu. Pendonoran hati hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah meninggal Shilla”

“Tapi saya rela dok. Saya rela mendonorkan hati saya”

“Tidak bisa Shilla. Itu sma saja kamu bunuh diri”

“Jika memang itu jalan satu-satunya agar Cakka bisa terus hidup saya rela dok!”

“Sekali lagi tidak. Itu melanggar aturan hukum”

“Mengapa kita harus memenuhi aturan hukum? Ini masalah hidup Cakka dok. Lagi pula ini hati saya sendiri. Mengapa kita harus memusingkan masalah hukum?”

“Kamu gila Shilla”

“Saya memang gila dok. Dan saya akan lebih gila lagi jika Cakka harus pergi”

“Shilla.. Cakka hanya pasien seperti biasanya. Selama kerja kamu bertahun-tahun disini, sudah berapa ratus pasien yang meninggal dalam perawatan? Mengapa kamu harus memberatkan
Cakka? Bukan berarti saya menyerah untuk menyembuhkan Cakka. Tapi tolong Shilla
, Cakka memang sakit, bagaimana kelanjutannya akan terus hidup atau tidak itu
kehendak Tuhan. Sebagai petugas medis yang kita lakukan hanyalah menolong
semampu kita”, kata Alvin mencoba memberi pengertian

“Tapi ini Cakka dok, Saya mencintainya. Saya rela mendonorkan hati saya untuknya. Bukan sebagai seorang suster tapi sebagai seseorang yang mencintainya”, jelas Shilla

“Dan saya sebagai orang yang mencintai kamu melarang kamu mendonorkan hati mu untuk Cakka”,kata Alvin tegas yang membuat Shilla terdiam

“Tapi saya hanya mencintai Cakka dok”, jwab Shilla

“Saya tahu. Tapi saya mohon Shilla. Buang jauh-jauh pikiran liar kamu itu”

“Saya coba dok. Walau saya tahu kemungkinannya kecil”, jawab Shilla menyeka air matanya. Mengapa semua jadi begini?

_Flashback-Turn-Off_

Shilla duduk merosot di tepi tempat tidurnya. Persetan masalah dr.Alvin yang tiba-tiba mengaku bahwa ia mencintai Shilla. Yang ada di pikirannya hanyalah Cakka yang sebentar lagi bisa pergi jika tidak mendapatkan
donor hati. Cakka harus tetap hidup. Mimpinya masih menunggu di depan. Banyak
yang akan merasa kehilangan jika Cakka harus pergi. Sedangkan Shilla? Ia
hanyalah seorang gadis yatim piatu yang tak akan membuat siapapun merasa
kehilangan jika ia pergi

Shilla masih terisak, rasa bersalahnya pada Cakka memang begitu besar dan begitu konyol. Tapi pada kenyataannya Shilla memang merasa begitu. Di kuatkannya genggamannya pada benda yang sedari tadi di pegannya

“Lo harus hidup kka! Maafin gue udah ngasih tahu nyokap lo. Gue juga gak tega lihat dia nangis terus tiap hari buat lo. Lo mau dia tetep senyum buat lo kan? Gue mau kka.. Gue mau
bantuin lo. Gue minta maaf, cuma ini yang bisa gue lakuin”, kata Shilla lirih.
Lalu perlahan Shilla menyayatkan pisau yang ia pegang sedari tadi ke urat
nadinya

“Aw..”, rintihnya pelan lalu semua gelap.

___________

Berhari-hari Shilla menghilang. Sampai suatu ketika dr.Alvin menemukannya di kamar Rumah Kontrakannya dengan keadaan tak bernyawa dengan darah yang sudah membeku dna
membusuk di tangannya. Di sana ia juga menemukan sebuah surat wasiat dari
Shilla agar mendonorkan hatinya pada Cakka.

Namun malang tak bisa di halang. Hati Shilla tak cocok sama sekali dengan Cakka. Sampai akhir hayatnya Cakka tak kunjung mendapatkan donor hati. Cakka
menghembuskan nafas terkahirnya masih dalam keadaan koma setelah sadar beberapa
saat dan menanyakan Shilla dan sempat shock saat tahu Shilla sudah pergi untuk
selamanya.

Cakka pergi meninggalkan keluarga yang benar-benar masih membutuhkannya dan menyusul sosok Shilla yang sungguh telah merebut hatinya yang meradang itu dengan segala
senyum dan tawanya.

~ Shinta Citra Mutiara - La Savier ~