Tampilkan postingan dengan label ashilla. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ashilla. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Februari 2013

OURS [Song Fiction]

HAPPY 4 TH ANNIVERSARY CSF!! 14 FEBRUARI 2013


OURS

**Elevator buttons and morning air
Stranger's silence makes me wanna take the stairs

Pagi yang cerah. Burung-burung bernyanyi indah. Mentari tersenyum gembira. Shilla memulai langkahnya untuk hari ini. Seperti rutinitas biasanya. Sekolah. Dia telah memakai pakaian putih abu-abunya. Pintu apartemen orang tuanya berderit. Dia membuka pintunya. Hendak keluar menyongsong hari baru ini. Baru saja hendak keluar. Shilla dipanggil oleh sebuah suara.

“Shilla.”

Shilla segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Mamanya dan Shanin berdiri di belakangnya.

“Ya Ma,” jawabnya.

“Kamu perginya bareng Shanin dan Mama nggak boleh pergi sendiri lagi.”

“Tapi Ma---”

“Nggak pake tapi-tapian, kamu harus pergi sekolah bersama kita.”

Shilla mendengus kesal. Semenjak orang tuanya tahu. Dia sering di antar jemput "anak SMP" ke sekolahnya. Kemudian tahu kalau "anak SMP" itu adalah pacarnya. Orang tuanya makin protektif padanya. Shilla dimarahi habis-habisan waktu itu. Sampai sekarang pun gara-gara itu hubungannya dengan keluarganya jadi tidak enak. Orang tuanya menyuruhnya mengakhiri hubungannya dengan "anak SMP" itu. Tapi Shilla menolaknya. Menyebabkan setiap gerakannya semakin dikekang. Seperti pagi ini.

Shanin yang sudah mengenakan seragam putih birunya. Mamanya yang sudah siap dengan pakaian kantornya. Berjalan mendekati Shilla di depan pintu. Kemudian mereka bertiga keluar dari apartemen. Langkah sejajar mereka menggema sepanjang koridor. Mereka terus melangkah sampai di depan lift. Ketika lift itu terbuka mereka masuk ke dalam. Kemudian hening.

Shilla tak tahan dengan keadaan seperti ini. Shilla merasa orang asing di tengah keluarganya. Seharusnya Shilla merasakan kehangatan. Tidak pernah mudakah mereka? Yang tidak merasakan 'cinta tak memandang usia' seperti yang Shilla hadapi sekarang ini?
Shilla segera mengambil ponselnya dari dalam saku kemudian mengetikan SMS.

Maaf Kka :( aku ga bisa bareng lo hari ini :') kamu tau kan posisiku sekarang. But, I still love you.

Sent. Pesan itu terkirim. Shilla menunggu balasan. Tak beberapa menit kemudian. Hpnya bergetar.

Gpp Shil :) aku ngerti. I always love you

Shilla tersenyum pahit membaca SMS tersebut.

“Kamu nggak tahu apa itu cinta. Kamu dan dia masih kecil. Belum saatnya.”

Itu kata Mamanya. Membuat Shilla ingin lari dari situ. Lebih baik dia lewat tangga!

~~~

**If you were here, we'd laugh about their vacan stares
But right now, my time is theirs

Cakka menatap hpnya dengan tersenyum pahit. Sudah sedari tadi dia menunggu di parkiran apartemen Shilla. Dengan seragam putih birunya. Dia segera mengetik SMS balasan untuk Shilla. Dia tahu posisi Shilla sekarang ini. Sulit.
Awalnya, ketika dengan beraninya dia menembak Shilla. Dia tak pernah membayangkan. Karena 'perbedaannya' akan banyak yang merintangi kisah cinta mereka. Salahkah jika seorang lelaki putih biru menjalin hubungan dengan seorang gadis putih abu-abu? Cakka sering bertanya dalam hatinya.

Dia segera naik kembali di atas CBRnya. Memasukan hpnya ke dalam sakunya. Dia menatap apartemen Shilla. Menyaksikan gadis yang dicintainya keluar dari apartemen. Langsung menuju Ford yang terparkir beberapa meter di depannya. Dia hanya bisa menyaksikan kepergian pujaan hatinya itu.

Cakka segera menstarter CBRnya itu sebelum meninggalkan apartemen Shilla.
Tidak apa-apa begini. Walaupun Shilla sekarang jarang punya waktu untunya. Tapi dia akan tetap mencintai Shilla. Karena Shilla tetap bagian dari hidupnya.

~~~

**Seems like there's always someone who disapproves
They'll judge it like they know about me and you

“Tumben kamu nggak datang bareng anak SMP itu?” Tanya Angel teman sebangku Shilla melihat Shilla yang baru turun dari mobil mamanya.

“Anak SMP itu punya nama... Namanya Cakka!” Kata Shilla menegaskan.

“Ya pokoknya dialah. Kenapa Shil? Udah putus?” Tanya Angel.

“Aku nggak putus sama Cakka, kita akan terus bersama.” Kata Shilla.

Angel tertawa, “duh Shil, kayak di SMA ini nggak ada cowok yang lain. Masih banyak cowok ganteng kan di SMA ini? Nggak harus kamu pacaran dengan cowok yang masih pake putih biru begitu. Putih abu-abu lebih menarik.”

“Apapun! Aku tetap memilih Cakka. Kamu nggak tahu antara aku dan Cakka jadi jangan menilai sembarangan Angel.” Kata Shilla.

“Tapi semua orang berpikiran seperti itu. Kalau kalian jalan di mall atau dimana pun dengan seragam. Apa kamu nggak malu bermesraan? Mereka akan pikir kamu dan dia kakak beradik.”

“Aku nggak pernah memikirkan apa yang orang lain nilai tentang kami.”

“Kamu harus memikirkannya Shilla. Karena kamu hidup di dunia ini tidak hanya sendiri!”

Kenapa sih? Orang selalu hanya menilai dari satu sisi tentang hubungannya dengan Cakka? Kenapa? Toh yang merasakan mereka. Kenapa jadi orang lain yang menilai sembarangan?

~~~

** And the verdict comes from those with nothing else to do
The jury's out, but my choice is you.

Cakka segera memarkir CBRnya di tempat parkir sekolah. Dia menyimpan helm di bagasi CBRnya. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, dia sudah di sambut oleh seseorang.

“Selamat pagi Cakka.”

“Eh... Selamat pagi Oik.”

“Tumben nggak terlambat.”

Cakka hanya tersenyum tidak menjawab sambil melangkahkan kaki menuju kelasnya. Di kelas, dia sudah di sambut oleh kedua kawannya, Irsyad dan Obiet.

“Wetz bro, apa kabar?” Tanya Obiet.

“Not good!” Kata Cakka.

“Kenapa?” Tanya Obiet.

“Elah Biet paling gara-gara anak SMA itu. Siapa lagi?” Kata Irsyad.

“Aku heran ya sama kamu Kka, udah dikejar-kejar putri sekolah kayak Oik masih aja keukeh sama mbak-mbak itu.” Kata Obiet.

“Shilla bukan mbak-mbak!”

“Yaaa... Mbak dong dia kan lebih tua dari kita yoi nggak bro?” Tanya Obiet pada Irsyad.

“Yoi bro” katanya.

“Aku sudah memilih Shilla. Jadi apa pun yang kalian katakan. Nggak ngaruh tuh!” Kata Cakka sambil melangkah dan meletakkan tasnya di atas mejanya. Kemudian duduk dengan segala macam pikiran di dalam kepalanya.

~~~

**So don't you worry your pretty little mind
People throw rocks at things that shine

9 September 2009

Malam itu sunyi. Hanya terdengar sesekali kicauan burung. Terkadang suara motor satu-satu melintasi jalanan. Cakka dan Shilla sedang berjalan di sebuah trotoar. Mereka baru pulang dari tempat kursus vokalnya. Awal mula mereka bertemu. Di tempat kursus vokal itu. Semakin hari semakin dekat. Seperti malam ini. Cakka mengantar Shilla pulang dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak apartemen Shilla dengan tempat kursus vokal tidak terlalu jauh. Dingin pekat menembus tulang mereka. Tak mereka hiraukan. Kesunyian membungkus satu dengan yang lain. Tanpa ada suara menikmati malam itu.

“Kamu suka musik apa?” Tanya Shilla memecah keheningan.

“Aku suka musik blues.”

“Kenapa?”

“Suka aja, aku nyaman kalau dengar jenis musik itu. Kamu sendiri?”

“Aku suka musik rock.”

Cakka kaget. Tidak biasanya seorang perempuan suka musik seperti itu.

“Rock?”

Shilla mengangguk. “Iya.”

“Kok bisa seorang perempuan seperti kamu suka musik rock?”

Shilla mengangkat bahunya, “aku punya semangat kalau mendengar musik sejenis musiknya linkin' park gitu.”

“Kamu lucu. Beda sama anak perempuan lainnya.”

“Beda gimana maksud kamu?”

“Ya beda aja. Tapi itu yang membuat aku suka sama kamu.”

Oppss. Cakka keceplosan. Shilla memicingkan matanya ke arah Cakka. Berusaha meminta penjelasan dengan kata-kata yang baru meluncur dari mulut Cakka. Melalui kilatan matanya malam itu.
Cakka terlihat menghela napasnya.

“Shil.”

“Ya?”

“Aku ingin mengaku sama kamu. Kalau aku suka sama kamu. Tapi... Aku tahu perbedaan kita. Aku lebih muda dari kamu. Tapi aku sayang kamu. Mungkin ini terlalu lancang, tapi... Kamu... Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Tanya Cakka.

Langkah mereka terhenti. Shilla menatap Cakka. Di bawah lampu jalanan. Wajahnya nampak bersinar. Dia terlihat begitu bersungguh-sungguh saat menanyakan itu.

“Ya aku tahu orang akan beranggapan aneh. Karena perbedaan usia kita. Tapi aku---”

Perkataan Cakka di potong oleh Shilla dengan jadri telunjuknya yang bersarang di bibir Cakka.

“Ssssttt... Aku nggak mau dengar itu lagi. Karena... Aku mau jadi pacar kamu.” Kata Shilla sambil tersenyum.

Cakka surprise. Seakan tidak percaya. Keduanya berpelukan di trotoar malam itu. Menjadi malam penyatuan dua hati yang berbeda.

~~~

**And life makes love look hard
The stakes are high, the water's rough, but this love is ours

Shilla duduk di sebuah batu besar. Punggungnya bersandaran dengan punggung Cakka. Kala itu mereka masih mengenakan seragam mereka masing-masing. Putih abu-abu dan putih biru. Kenapa seragam itu selalu membuat mereka terlihat berbeda?
Tadi Shilla pulang sekolah segera menghindar dari jemputannya. Dia dan Cakka janjian di tempat biasanya. Sambil memandang siluet-siluet awan berarakan. Mereka menikmati siang itu.

“Memang salah ya Kka kalau kita saling jatuh cinta?” Tanya Shilla.

“Banyak yang bilang begitu, tapi aku tidak memikirkannya, yang terpenting itu kita yang tahu.”

“Ya... Memangnya ada larangan orang nggak boleh berpacaran kalau ceweknya lebih tua atau cowoknya lebih muda. Nggak kan?”

“Sudah nggak usah pikirkan, kita di sini kan untuk bersenang-senang, by the way aku kangen banget sama kamu. Can I hug you?” Kata Cakka sambil berbalik ke arah Shilla.

Shilla juga ikut berbalik. Kini mereka berdua berhadapan. Kemudian saling berpelukan. Melepas segala yang ada di hati mereka. Mungkin terlalu dini. Tapi cinta itu begitu kuat mereka rasakan.

~~~

**You never know what people have up their sleeves
Ghosts from your pas gonna jump out at me

Shilla bergegas memasuki sebuah mall. Hari ini pulang sekolah Shilla janjian bersama Cakka. Untuk nonton film di bioskop. Shilla tahu konsekuensinya kalau dia dan Cakka mengenakan seragam yang berbeda. Tapi, kalau tadi Shilla mengganti bajunya. Dia akan keduluan sopir mamanya yang menjemputnya. Makanya dia langsung naik taksi dan meluncur ke mall. Ramai sekali orang-orang yang ada di mall. Tadi mereka janjian untuk bertemu di depan KFC. Shilla kemudian melihat Cakka masih dengan seragam putih biru. Lambang osis kuning dan celana biru selutut. Dengan cepat Shilla mendekatinya.

“Sudah lama menunggu?” Tanya Shilla.

“Nggak kok. Tapi aku sudah pesan tiket tadi. Nih,” kata Cakka sambil menyerahkan selembar tiket untuk Shilla.

Shilla mengambilnya.

“Yuk,” Cakka mengulurkan tangannya ke arah Shilla. Shilla menyambutnya.

Kemudian mereka berjalan menyusuri mall itu sambil berpegangan tangan. Banyak yang melihat. Perbedaan terlalu signifikan diantara mereka. Membuat banyak yang berbisik-bisik ketika Cakka dan Shilla lewat di depan mereka. Tapi Cakka dan Shilla tidak menghiraukannya. Mereka segera menuju XXI untuk menonton.
Tiba di XXI mereka langsung memberikan tiket pada petugas dan masuk di studio untuk menonton.
Film di mulai. Cakka dan Shilla sibuk dengan tontonannya. Sekitar dua jam lebih film itu berlangsung. Akhirnya selesai. Cakka dan Shilla segera keluar dari studio tersebut sambil erat bergandengan tangan.

“Cakka.” Suara sang perempuan.

“Shilla.” Suara sang lelaki.

Spontan membuat Cakka dan Shilla menoleh ke arah sepasang manusia yang berdiri di depan mereka.

“Acha!” Suara Cakka.

“Alvin!” Suara Shilla.

“Tunggu... Tunggu kenapa saling kenal begini ya?” Tanya Alvin heran.

“Ini pacar kamu Vin?” Tanya Shilla pada lelaki yang bernama Alvin.

“Bukan Shil, adik aku baru datang dari Yogyakarta, namanya Acha, kenalan dulu.”

“Acha.”

“Shilla.”

“Kok aku nggak tahu ya kalau Cakka punya kakak yang namanya Shilla.” Kata Acha heran.

“Shilla bukan kakakku Cha,” kata Cakka.

“Trus?”

“Shilla pacarku.”

Pengakuan Cakka berhasil membuat Alvin dan Acha saling menatap. Bagaimana bisa?

~~~

**Lurking in the shadows with their lip gloss smiles
But I don't care 'cause right now you're mine

“Kka, kamu yakin mau ngajakin aku ke pesta ulang tahun teman kamu? Aku nggak ganggu gitu?” Tanya Shilla.

“Yakin, tapi sebenarnya yang aku takutkan jangan-jangan mama kamu memarahimu ketika tahu kamu pergi bersamaku,” kata Cakka.

“Aku sudah bilang aku pergi bersama Angel. Angel sih mau membantu. Cuma semoga saja di pestanya tidak ada temannya Shanin sehingga aku aman.”

Cakka mengenggam tangan Shilla, “maaf ya, aku buat kamu tambah bermasalah.”

“Enggak! Kamu sama sekali bukan masalah bagiku.”

Cakka dan Shilla saling tersenyum. Shilla kemudian dengan gaun kremnya naik ke atas CBR Cakka. Rambutnya yang tergerai indah. Melambai-lambai oleh tiupan angin. Shilla mengeratkan pelukannya pada Cakka. Sebelum Cakka memacu CBRnya lebih cepat lagi.

Tiba di pesta. Cakka dan Shilla segera berjalan menyalami yang berhari ulang tahun. Ketika Cakka dan Shilla berjalan ke arah Oik. Dua teman Cakka saling berbisik.

“Cakka berani banget bawa mbak-mbaknya kemari sudah tahu ini pesta Oik. Dia kan cinta mati pada Cakka, mau cari masalah?” Kata Irsyad.

“Kalau gue jadi Cakka, gue bakalan pilih Oik. Gila men, Oik lebih sepadan. Sama Shilla yang ketuaan yang benar saja?”

Oik berdiri menatap Cakka dan Shilla yang berjalan ke arahnya. Lip gloss tipisnya di bibirnya menyala. Sinaran senyumnya terasa berbeda. Senyum mengejek.

“Selamat ulang tahun ya, Oik,” kata Cakka menyalami Oik dan memberikan hadiah untuk Oik.

“Terima kasih,” Oik menerima hadiah dari Cakka.

Shilla menyalami Oik. Oik membalas uluran tangannya dengan terpaksa. Setelah itu mereka kembali duduk di tempat duduk menunggu perayaan pesta itu.

Tibalah saatnya pemotongan kue ulang tahun. Oik bersiap. Setelah meniup lilin Oik mulai memotong kuenya. Dia memberikan kue pertamanya pada Cakka. Tanpa memedulikan Shilla. Padahal sudah jelas-jelas Shilla di sana bersama Cakka menggandeng tangannya. Cakka menatap Shilla yang tersenyum pahit ke arahnya. Kemudian melepaskan tangannya yang melingkari lengan Cakka. Oik segera menarik Cakka di dekat kue ulang tahunnya. Meninggalkan Shilla di situ. Cakka dengan terpaksa mengikuti Oik.
Rasa sesak di dalam hati Shilla membuatnya ingin keluar dari situ.

~~~

**And you'll say don't you worry your pretty little mind
People throw rocks at things that shine
And life makes love look hard
The stakes are high, the water's rough, but this love is ours

Shilla menyenandungkan refrain lagu "ours" milik Taylor Swift. Dia sedang berjalan kaki di atas trotoar. Dia lari dari pesta tadi. Dipikirnya bodoh juga dan terlalu kekanak-kanakan. Tapi dia cemburu! Cakka harus tahu kalau dia cemburu!

“Jangan kekanak-kanakan begitu deh Shil, sebenarnya yang tua kamu atau aku?” Sebuah suara di iringi suara CBR yang mendekat.

“Apaan siapa yang nggak cemburu pacarnya digituin di depan mata kepalanya sendiri.” Kata Shilla sambil berkacak pinggang.

“Iya sih, aku minta maaf kalau begitu.”

“Aku sudah cukup sabar Kka selama ini, aku tahu banget kita nggak pantas. Mungkin kamu memang lebih cocok sama Oik,” kata Shilla.

Cakka segera memarkir CBRnya dan langsung turun menghampiri Shilla. Dia segera memeluk gadisnya itu.

“Sssstt jangan berkata seperti itu. Hindari segala pikiran-pikiran yang nggak-nggak. Aku di sini hanya untuk kamu dan selalu untuk kamu. Aku nggak menerima kuenya Oik kok. Aku nyusul kamu di sini.”

“Beneran?”

Cakka melepaskan tangannya kemudian membingkau wajah Shilla.

“Bener. Aku sayang kamu.”

“Aku juga sayang kamu Kka.”

Keduanya saling berpelukan.

“Gimana kalau malam ini untuk menebus semuanya, aku ajak kamu ke suatu tempat.”

“Kemana Kka?” Tanya Shilla penasaran.

“Ada deh.”

Cakka segera menarik Shilla naik CBRnya. Kemudian melajukan CBR itu menyusuri jalan raya. Menuju ke sebuah tempat.

~~~

**And it's not theirs to speculate if it's wrong and
Your hands are tough but they are where mine belong in
I'll fight their doubt and give your faith with this song for you

Cakka ternyata mengajak Shilla ke sebuah gedung tua. Dari atas mereka bisa melihat kilatan lampu yang menerangi kota Jakarta malam itu. Cakka mengenggam tangan Shilla erat. Mereka larut dalam kepekatan kesunyian malam. Merasakan waktu ini milik mereka berdua.

“Kenapa orang suka sekali menerka-nerka tentang hubungan kita? Padahal hubungan ini kita yang menjalani bukan?” Tanya Shilla.

“Biasanya orang hanya menilai dari luar saja, mereka tak tahu apa yang ada di dalam.”

Shilla memeluk Cakka. Air matanya tiba-tiba luruh di pipinya, “aku nggak mau kamu meninggalkan aku Kka, aku sayang sama kamu.”

“Aku pun tak mau itu terjadi. Karena kita berdua sudah saling memiliki.”

Kembali keheningan membungkus mereka. Shilla menyenandungkan lagu Ours milik Taylor Swift kembali. Liriknya sepertinya menguatkannya. Apapun yang terjadi ini adalah pilihan mereka. Orang boleh berkata apa tentang hubungan mereka. Tentang Cakka yang lebih muda dari Shilla. Ataupun tentang Shilla yang lebih tua dari Cakka apapun itu. Tapi mereka saling memiliki.
Malam itu menjadi memori yang indah untuk mereka di antara.

Hanya ada Cakka dan Shilla...

~~~

**'Cause I love the gap between your teeth
And I love the riddles that you speak
And any snide remaks from my father about your tattoos
Will be ignored
'Cause my heart is yours

“Shil, main tebak-tebakan yuk,” ajak Cakka yang kepalanya sedang tiduran di atas paha Shilla.

Mereka saat itu sedang berada di sebuah taman. Hanya mereka berdua di situ. Kali ini mereka tidak mengenakan seragam sekolah mereka. Terlihat normal saja. Mereka seperti pasangan biasa. Apa yang berbeda dengan pasangan yang lain.

“Boleh, kamu duluan.”

“Apa yang hanya dimiliki satu orang di dunia ini?”

“Apa yah?” Shilla tampak berpikir. Semua benda-benda di dunia ini sepertinya rasanya punya kloning. Apa yang hanya dimiliki satu orang di dunia ini? Shilla kebingungan.

“Apa hayo?”

“Nyerah deh nyerah!” Akhirnya Shilla menyerah setelah proses pemikiran yang sangat panjang.

“Mau tahu?”

“Mau banget lah!”

“Hati aku. Karena hanya dimiliki oleh Shilla seorang.”

“Ah! Kamu bisa aja gombalnya.”

“Nggak gombal. Aku jujur. Hatiku hanya milikmu.”

Pipi Shilla tiba-tiba bersemu merah. Entah apa yang harus di katakan Shilla selanjutnya.

“Shil.” Panggil Cakka.

“Ya?” Shilla menoleh ke arah Cakka.

Tanpa di duga Shilla dihadiahi kecupan lembut oleh Cakka di bibirnya. Itu ciuman pertama... Selama mereka berpacaran.

“Sorry, kalau aku lancang.” Kata Cakka salah tingkah sambil menggaruk kepalanya.

Shilla malah tersenyum malu-malu. “Itu yang pertama buatku.”

“Serius?”

Shilla mengangguk malu-malu lagi. Cakka memberikan pelukannya. “Maaf.”

“Kok minta maaf?” Tanya Shilla melepaskan pelukan Cakka.

“Yaaa... Karena... Karena...”

Belum sempat Cakka melanjutkan perkataannya. Kali ini Shilla yang menghadiahi kecupan hangat di bibir Cakka. Ia kaget. Tapi kemudian Cakka membingkai kepala Shilla. Mencoba lebih dalam lagi. Mereka pun larut dalam ciuman hangat malam itu.

***

“Kamu yakin Kka mau nganterin aku pulang?” Tanya Shilla.

“Yakin.”

“Tapi kamu tahu kan situasi aku sama keluargaku kayak apa sekarang? Aku takutnya kamu malah dimarahin Mama atau Papa aku.”

“Tapi aku akan lebih dimarahin kalau aku mengajak putrinya keluar dan membiarkan putrinya itu pulang sendirian tanpa di antar. Bahaya Shil, udah malam kamu cewek.” Kata Cakka.

Shilla tersenyum kemudian mengangguk, “yaudah deh.”

Shilla segera naik ke atas CBR Cakka. Melingkarkan tangannya di pinggang Cakka. Sebelum CBR itu melaju menuju apartemen Shilla. Beberapa menit kemudian mereka telah tiba di depan apartemen Shilla. Shilla segera turun.

“Makasih ya Kka.”

“Sama-sama. Mau ku antar masuk?” Tanya Cakka.

“Nggak deh Kka. Makasih, nanti aku nggak mau kamu kena marah.”

“Yaudah. Hati-hati ya.”

“Kamu juga hati-hati. Jangan ngebut bawa motornya.”

“Iya pasti. Aku pulang dulu.”

Cakka kemudian menarik kepala Shilla kemudian mengecup dahinya.

“Shilla!”

Suara itu mengagetkan Cakka dan Shilla. Cakka segera mengakhiri kecupannya itu.

“Papa.” Kata Shilla dengan suara bergetar.

“Siapa itu? Pacar kamu?” Tanya Papanya.

Shilla mengangguk, “iya pa.”

“Yang kata Mama kamu anak SMP?”

Shilla mengangguk lagi.

“Masuk!” Bentak Papa Shilla.

“Aku masuk dulu ya Kka.”

Cakka mengangguk.

“Masih kecil juga kalian! Pacar-pacaran!” Kata Papa Shilla kemudian menarik Shilla masuk ke dalam apartemen.

~~~

**So don't you worry pretty little mind
People throw rocks at things that shine
And life makes love work hard
But they can't tak what's ours

“Apa Kka? Ke Yogyakarta?” Shilla kaget mendengar berita dari Cakka.

“Iya Shil, kan aku sudah lulus SMP. Dan orang tuaku menyuruhku untuk sekolah di Yogyakarta.” Kata Cakka.

Mata Shilla berkaca-kaca, “tapi Kka, selama ini yang aku tunggu. Saat dimana kamu dan aku tidak dibedakan dengan warna seragam lagi. Kita sama-sama mengenakan putih abu-abu. Kenapa kamu harus pergi?” Tanya Shilla air matanya sudah luruh di pipinya.

Cakka segera menenggelamkan Shilla ke dalam pelukannya, “ini bukan kemauanku. Aku juga mau tetap di sini, tapi orang tuaku yang menyuruhku. Kita masih tetap bisa berhubungan walaupun jarak jauh.” Kata Cakka.

“Tapi akan beda Kka, aku bakalan kangen banget sama kamu. Aku bakalan merindukan kamu. Dan kita berdua akan tersiksa oleh jarak.”

“Aku tahu itu.”

Keduanya pun terdiam. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Cakka kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

“Dia kemudian mengenakannya di tangan Shilla. Sebuah gelang dengan inisial CSF.”

“CSF? Cakka Shilla...?” Tanya Shilla memperhatikan gelang yang ada di tangannya.

“Cakka Shilla Forever.” Kata Cakka.

Shilla tersenyum ditengah air mata yang masih mengalir di pipinya. Cakka menghapus air mata Shilla dengan jemarinya.

“Jangan menangis lagi yah. Kita pasti dipertemukan kembali.”

Dengan berat Shilla menghela napasnya kemudian menghembuskannya, “begini saja Kka. Kita nggak usah berhubungan lagi ya setelah ini.”

“Kenapa begitu?” Tanya Cakka dengan tatapan yang miris.

“Aku mau. Jika cinta ini memang milik kita. Kita pasti dipertemukan oleh takdir lagi. Kita hidup masing-masing. Hidup memang membuat cinta itu berat. Tapi apapun itu, kalau kita memang jodoh pasti akan dipertemukan. Aku tak mau kita tersiksa setiap hari. Kamu di sana fokus untuk belajar aja Kka. Aku nggak mau gara-gara hubungan kita ini kamu malah nggak fokus belajar. Aku tunggu kamu datang ke kehidupanku lagi.” Kata Shilla.

Cakka menutup matanya. Meresapi segala perkataan Shilla sebelum dia mengangguk, “ya.”

Shilla tersenyum, “gelang ini akan tetap ada di tanganku sampai kapan pun.” Kata Shilla.

“Can I kiss you last?” Tanya Cakka.

Shilla mengangguk. Kemudian Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla. Sebelum terjadi pertautan di bibir mereka. Mungkin itu akan menjadi ciuman terakhir mereka.

~~~

**They can't take what's ours
The stakes high, the water's rough
But this love is OURS!

14 Februari 2019

Hall bergemuruh...
Ini konser ke 99 Shilla selama 8 tahun menjalani kariernya sebagai seorang penyanyi. Riuh penonton meneriakkan nama Shilla. Gadis berambut ikal dengan gitar putihnya sedang berada di tengah-tengah panggung. Dengan stand mike-nya duduk di atas sebuah kursi.

“Baiklah semua ini lagu terakhir dari Shilla, dia akan mengcover sebuah lagu milik musisi dunia. Tapi sebelumnya kita akan sedikit berbincang-bincang dulu dengan Shilla. Katanya, awal Shilla suka dengan musik dia suka jenis musik rock! Waw! Gimana itu Shilla?”

Shilla tertawa, “hahaha, iya aku memang dulu suka musik rock, sampai sekarang pun suka.”

“Tapi kebayang nggak sih seorang cewek cantik dan feminim seperti Shilla suka musik rock? Waw gimana kalau seandainya Shilla jadi penyanyi rock?”

“Aku sadar kok aku nggak punya suara jenis rock.”

“Oh ya, ngomong-ngomong. Dari awal Shilla masuk ke dunia musik. Dia nggak pernah lepas gelang yang ada di tangannya. Kira-kira kenapa ya? Gelangnya sangat berharga ya? Cieee siapa yang ngasih?”

“Gelang ini sangat berhubungan dengan lagu yang aku akan nyanyikan. Gelang ini pemberian seseorang yang berharga di dalam hidupku. Dia yang mengajarkan betapa keras cinta itu mesti diperjuangkan meski punya perbedaan. Dia yang mengajarkan aku tetap bersabar. Pokoknya lagu selanjutnya ini untuknya.”

“Oke, baiklah... Ini lagu terakhir dari Shilla. Ours!” Kata sang MC kemudian meninggalkan panggung.

Shilla segera memetik gitarnya. Dengan penuh perasaan dia bernyanyi. Dengan penuh penghayatan dia seperti bertutur cerita. Semuanya terlarut dalam alunan suara indah Shilla menyanyikan lirik demi lirik lagu tersebut. Shilla menghipnotis penggemarnya. Banyak yang ikut bernyanyi bersamanya.

Hanya seseorang yang berdiri di sudut belakang ruangan menonton sejak tadi. Lelaki dengan jas dan dasi yang rapi. Dia tersenyum kecil. Shillanya masih Shilla yang dulu.

Shilla menyelesaikan lagunya. Matanya terantuk pada sosok lelaki dengan pakaian formal di sudut ruangan. Dia memicingkan matanya. Dia seperti mengenal orang itu. Lelaki itu terlihat beranjak. Shilla segera berterima kasih dan turun dari panggung.

Shilla hendak mengejar lelaki itu. Gitar putihnya masih berada di dalam tas di belakangnya. Dia yakin apa yang di lihatnya. Itu sosok yang di rindukannya.
Shilla berputar-putar di studio salah satu stasiun televisi yang menayangkan konsernya ini. Tapi sudah semua sudut yang di telusurinya tak ada tanda-tanda lelaki itu muncul.
Shilla mulai hopeless dengan berjalan lemah dia pergi ke area air mancur yang ada di depan studio tersebut. Padahal dia yakin tadi itu...

“Makasih sudah menyanyikan lagu itu untukku,” kata sebuah suara membuat Shilla kaget dan segera berbalik ke arah sumber suara tersebut.

“Dan makasih masih memakai gelang itu.”

“Cakka.”

Kaget Shilla melihat Cakka di belakangnya. Cakka bukan dengan seragam putih biru lagi. Tapi dengan setelan jas, kemeja dan dasi yang rapi. Dia telah bermetamorfosa menjadi Cakka seorang elegible bachelor. Menjadi pengusaha muda yang digandrungi banyak wanita. Shilla tahu itu. Tapi sampai saat itu takdir belum mempertemukan mereka. Sampai saat ini...

“Selamat atas konser ke sembilan pulu sembilanmu.”

“Makasih. Selamat juga kamu sudah menjadi most wanted men in the world.”

“Hahaha. Kamu berlebihan.”

“Kata ayahku seperti itu. Bahkan dia kalah sama kamu.”

“Tapi aku kalah denganmu.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena sekuat apapun aku mencoba melupakanmu. Hatiku tetap kalah. Sudah terpampang nama Shilla di sana.”

“Jadi?”

“Jadi aku tetap mencintaimu, dulu sekarang bahkan selama-lamanya.” Kata Cakka kemudian membuka kedua tangannya.

Shilla segera menghambur ke pelukan Cakka. “Jangan pergi lagi.”

“Aku akan tetap di sini, karena cinta ini milik kita. Nggak ada seorang pun yang bisa menghalangi kita.” Kata Cakka.

“Well, memang sudah nggak ada. Kamu kan udah nggak pake putih biru lagi. Dan kamu tahu betapa Papaku memaksaku untuk menemuimu lagi. Agar kalau aku sama kamu perusahaan kamu dan dia bisa bekerja sama. Tapi aku nggak mau.”

“Jadi orang tua kamu sudah setuju?”

Shilla mengangguk.

“Jadi mereka tinggal menunggu aku dan kamu menjadi kita.” Kata Cakka.

“Maksud kamu?” Shilla mengernyit lalu melepaskan pelukannya dari Cakka.

“Karena hari ini aku mau kamu jadi isteriku.” Kata Cakka segera memasangkan cincin di jari manis Shilla.

Air mata Shilla luruh. Bukan kesedihan. Tapi air mata kebahagiaan. Kini tambatan hatinya telah kembali. Meyakinkan bahwa cinta adalah milik mereka.

“Cakka Shilla Forever!” Kata mereka bersama.

Kemudian mereka berpelukan. Diantara desiran air terjun. Hari itu menjadi saksi tautan cinta mereka.

**The End**

Kamis, 31 Maret 2011

Selalu Cinta -a fanfict story-

Selalu Cinta

***

Kamu tanya , aku menjawab

Kamu minta , aku berikan

Kusayangi kamu …

***

Aku kembali terduduk di sini. Di taman ini, taman aku dan dia. Aku tak bisa menghitung bagaimana banyaknya kenangan yang aku dan dia miliki di tempat ini. Taman ini seakan menjadi saksi bisu kisahku dan dia.

Aku memejamkan mataku, menghela nafas sedalam mungkin dan menghembuskannya perlahan. Masih dengan mata terpejam, aku mencoba mengingat kembali kenangan manis antara aku dan dia.

Sore itu, aku berjalan menuju taman. Berlari, tepatnya. Kulirik jam tangan mungil yang melingkar anggun di tangan kiriku, dan mempercepat langkahku. Kulihat dia duduk di bangku taman, memangku gitarnya dan mulai memetik gitar itu perlahan.

“Maaf”, kataku setelah duduk di sampingnya. Ia menoleh, sepertinya baru sadar atas kedatanganku. Senyum terukir di wajahnya, senyum yang selalu kuingat hingga alam bawah sadarku.

“Kamu tuh ya, dari dulu ngaretnya nggak pernah hilang.” katanya, sambil mencubit pipi kananku lembut.

“Aaah”, aku meringis kecil sambil mengusap pipiku yang barusan disentuhnya. Wajahku memanas, aku yakin warnanya pasti semerah tomat. Ah, biar sajalah.

Ia tertawa kecil, lalu mengacak rambutku. Ini salah satu kebiasaannya saat bertemu denganku. Lagi-lagi, aku hanya bisa merengut, dan memajukan bibirku, manyun.

“Ah, berantakan nih” kataku sambil merapikan rambutku yang baru saja diacak.

“Biar berantakan tetep cantik kok. Aku suka” katanya sambil tersenyum padaku. Aku yakin, pipiku yang telah semerah tomat ini telah bertambah tingkat menjadi semerah cabai.

“Oh ya, kenapa telat ?” tanyanya kemudian.

“Aku ketiduran. Hehe” jawabku jujur. Ia tersenyum lagi. Kali ini beda, ia tersenyum geli, seakan menahan tawanya. Ia lalu kembali memetik gitar yang tadi ia hentikan. Petikan yang asal, namun tetap terdengar harmonis di telingaku. Ya, kuakui ia memang dewa dalam bergitar. Dan aku suka itu.

“Kebo” katanya lagi, pelan.

“Heh, ngomong apa? Enak ajaaa!” bantahku sambil mencubit lengannya. Ia tertawa lepas. Ah tawa itu, aku kangen.

“Kamu denger ya? Untunglah, ternyata pacarku nggak budek” Aku memalingkan wajahku darinya, lalu memasang wajah cemberutku. Ah, bodo.

“Yah, ngambek. Maaf deh maaf, becanda sayaaang” bujuknya sambil berlutut di hadapanku. Dasar gombal.

Aku terus memasang wajah manyunku, saat tiba-tiba ia menarik tanganku dan mengajakku berlari. Aku yang kaget harus benar-benar menjaga keseimbanganku agar tak terjatuh konyol di depannya.

“Kka, apa-apaan sih!” teriakku padanya, yang hanya dibalas dengan senyuman.

“Udah, ikut aja bawel” katanya.

Ia lalu membawaku ke ujung taman dan, hey! Aku tak pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Ini dimana? Dari mana ia tahu tempat ini?

“Tunggu disini bentar ya” katanya lembut sambil melepas genggamannya yang erat dari tanganku, dan berjalan memunggungiku. Aku melihat sekelilingku, ah sepinya tempat ini. Aku takut.

Aku terus menunggunya dengan perasaan tak karuan. Takut, cemas, dan ingin marah semua berkumpul jadi satu dalam benakku. Dia kemana sih? Sudah lebih 20 menit aku disini dan dia tak kunjung kembali.

Lututku bergetar, tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku terduduk lemas. Kubiarkan cairan hangat berebut turun dari bola mataku, membentuk aliran sungai kecil di pipiku. Dimana dia? Aku takut sendiri!

Samar-samar kudengar lantunan nada indah dari petikan gitar. Aku menoleh, ternyata ia disana. Kulihat, ia berjalan mendekat ke arahku.

“Kamu kenapa nangis?” tanyanya. Ia melepas gitar yang sejak tadi digenggamnya. Tangannya bergerak menuju pipiku, menghapus anak sungai yang tadi tercipta, lalu menatapku dalam. Ingin rasanya aku membentaknya, memarahinya, tapi ah…entah kenapa bibirku seakan tak searah dengan hatiku.

“Takut” hanya itu yang keluar dari bibirku. Dan kuakui, betapa bodohnya aku. Aku mengutuk diriku habis-habisan. Tentu saja sekarang ia menganggapku cewek penakut yang lemah.

Ia mengusap kepalaku, setelah sebelumnya mengucapkan maaf untukku. Aku masih tak habis pikir, kenapa aku tak bisa marah padanya? Apakah ia mengontrol seluruh jalan pikiranku? Ah, lupakan. Aku tahu aku bodoh.

“Baru aku tinggal bentar aja udah nangis, gimana nanti kalo aku pergi?”

Aku menoleh, “Ah, kamu ngomong apa sih, ga lucu” bantahku. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dari perkataannya barusan.

“Aku serius, nanti kalo aku pergi ninggalin kamu, kamu harus janji ya, kamu akan terus dan tetap tersenyum” katanya lagi.

“Aku ga mau janji, karena kamu ga akan ninggalin aku, kamu ga boleh ninggalin aku” Ia tersenyum, lalu merogoh kantong jaketnya.

“Nih” katanya sambil mengulurkan permen lollipop ke arahku. Aku tersenyum, dan meraih lollipop itu dari tangannya. Langsung saja aku mengemutnya. Manis !

“Eh, aku punya sesuatu buat kamu. Pegangin dulu nih” kataku sambil menyerahkan lollipop yang sedang kuemut padanya. Aku mulai mencari benda yang kemarin kubeli untuknya dalam tasku. Ketemu! “Ini buat kamu. Kemarin kubeli di kios pinggiran jalan, makanya bisa nulis-nulis nama. Maaf ya kalo jelek, aku lagi ga punya du…” ucapanku terhenti seketika saat kulihat ia memasukkan lollipop yang tadi kuhisap ke mulutnya. Hei, itu kan bekas ludahku! Tidak, aku tak jijik. Aku hanya, hmm canggung. Bukankah ini ciuman tak langsung? Iya kan? Ahh..

“Eh, kenapa?” tanyanya dengan paras watados –wajah tanpa dosa-- yang membuatku makin geregetan. Dasar cowok, tak pernah peka dengan hal-hal seperti ini.

“Ini, buat kamu.” kataku, memutuskan mengabaikan peristiwa barusan. Ia mengambil benda itu dari tanganku.

“Makasih sayaaang. Bagus banget nih, aku suka !” katanya senang sambil menatap gantungan kunci bola basket yang betuliskan CS, inisial namaku dan dia. Aku hanya tersenyum, senang ia menyukai pemberianku.

“Aku masih boleh minta sesuatu nggak ?” tanyanya.

“Minta apa lagi? Kan aku udah ngasih itu.” protesku, sambil menunjuk pemberianku tadi. Ia tertawa, lalu mengacak rambutku – lagi --. Ahh ..

“Aku nggak minta macem-macem kok. Aku cuma minta ini” Ia mengecup pipiku lembut, membuatku kaget.

“I love you” bisiknya.

***

Ku bicara, kamu yang diam

Ku mendekat, kamu menghindar

Separah inikah kamu dan aku

***

Aku membuka mataku, membuyarkan ingatanku tentangnya. Sungguh, ingin rasanya aku menangis mengingat itu semua. Tapi kutahan, karena aku tahu, air mataku takkan mengubah apapun.

Aku melirik jam tanganku, lalu mendesah perlahan. Sudah 2 jam aku menunggu disini, namun dia tak kunjung datang. Aku tak menghubunginya, aku ingin menguji seberapa ingatkah ia tentang janjinya. Karena dulu, ia tak pernah melupakan apa saja tentang kami, bahkan hal kecil sekalipun.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang telah berwarna keemasan. Tak ada lagi sinar menyengat pandangan, tersisa awan jingga yang berarak, pertanda senja tiba. Tercipta gradasi warna yang indah di atas sana. Tiba-tiba, bangku yang kududuki bergerak. Aku menoleh, dan kudapati ia duduk di sampingku. Dia diam. Aku juga.

Sekian lama aku dan dia terduduk dalam keheningan, tanpa ada satu pun kata yang terucap. Sungguh, aku tersiksa dengan keadaan ini. Aku kangen dia yang dulu, dia yang bawel, dia yang cerewet, dia yang selalu memanjakanku. Kuputuskan untuk bicara duluan. Aku tak tahan lagi.

“Kenapa telat ?” tanyaku pelan. Kuharap pertanyaan ini bisa mencairkan bongkahan es yang memisahkan aku dan dia selama ini. Kuharap pertanyaan ini bisa mengembalikan dirinya yang dulu. Dirinya yang tak lagi kutemukan selama kurang lebih seminggu ini. Dirinya yang tiba-tiba saja berubah tanpa ku tahu penyebabnya.

“Maaf” katanya. Aku diam, menunggu. Mungkin saja masih ada yang akan ia ucapkan. Tapi, nihil. Ia kembali tenggelam dalam diam setelah mengucap satu kata itu. Jujur saja, aku kecewa. ‘Maaf’ bukanlah jawaban yang aku harapkan. Aku menghela nafas dalam.

“Kamu tahu, seminggu ini aku kesepian. Seakan ada bagian yang hilang dari hidupku.” ungkapku. Aku menoleh padanya, namun tak ada respon, ia tetap tenggelam dalam keheningan.

“Hidupku seakan hampa, nggak ada lagi warna di dalamnya. Aku sendiri nggak ngerti, gimana bisa diriku yang sesungguhnya hilang bagai ditelan bumi hanya karena nggak ada kamu? Maksudku, kamu emang ada, ragamu memang selalu kulihat, tapi hatimu hilang. Dalam jarak sedekat ini pun aku tetap nggak bisa merasakan kehadiran hatimu di tempat ini. Aku nggak tahu dimana harus mencarinya, aku benar-benar nggak tahu. Mungkin hatimu udah berkelana ke tempat lain, mencari hati lain untuk tempat persinggahannya. Atau mungkin, hatimu telah benar-benar menemukan hati yang lain, yang jauh lebih baik dariku.” Aku berhenti sejenak. Mencoba memerintahkan otakku agar tak memproduksi kelenjar air mata saat ini. Mataku benar-benar telah menghangat, dan pandanganku mulai kabur, pertanda bulir-bulir air mata telah bersiap untuk berebut turun. Tidak, aku tak boleh menangis, setidaknya untuk saat ini. Aku tak boleh terlihat lemah di depannya. Aku cewek kuat, aku kuat.

“Aku tahu, seluruh perkataanku mungkin nggak ada artinya bagimu. Mungkin kamu nggak peduli apa yang berkecamuk dalam benakku saat ini. Tapi kamu harus tahu, bagaimanapun perlakuanmu padaku, hatiku tetap akan jadi milik kamu. Kamu nggak akan terganti. Kamu tetap menempati ruang terbesar dalam hatiku.”

Seakan tak peduli dengan semua perkataanku, dia tetap diam. Sungguh, aku tak mengerti lagi apa yang harus kulakukan agar ia bicara. Aku rela menukar apapun yang kumiliki agar ku bisa mendengar desahan suaranya. Aku rela.

Aku dan dia kembali tenggelam dalam keheningan. Kalau memang dia nyaman dengan keadaan ini, baiklah, aku akan diam. Aku tak akan bersuara. Akan kuturuti kemauannya.

“Udah? Aku mau pulang.” akhirnya, aku bisa mendengar suaranya. Sayangnya, rangkaian kata yang terucap dari bibirnya tak sesuai dengan harapanku. Rangkaian kata darinya bagai ribuan jarum yang menancap tepat di hatiku. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia berdiri. Mendekati motor Ninja hijau miliknya yang berdiri kokoh di samping taman. Kulihat, ia telah terduduk gagah di atas motor kesayangannya itu.

“Tunggu !” teriakku saat ia hampir memacu motornya, sambil berlari ke arahnya.

Aku mendekat, tapi… BRRUMM ! Ia menghindar. Motornya melesat bagai angin, dan membuatku hanya bisa terpana.

Ya Tuhan, separah inikah aku dan dia?

***

Bagaimana bisa, aku tak ada

Di setiapmu melihat

Sementara ku ada

***

“Shil, gue pulang dulu ya.” kata Sivia, sahabatku. Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepalaku.

“Iya, cepetan sana, sang pangeran udah nungguin tuh” ledekku, sambil menunjuk-nunjuk pacar sahabatku ini, Gabriel. Yang ditunjuk hanya nyengir kuda ga jelas. Sivia melangkah memunggungiku, namun saat langkahnya yang ketujuh ia berbalik ke arahku. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi menyatakan keherananku.

“Kenapa, Vi ?” tanyaku.

“Lo nggak apa-apa kan gue tinggal ?” tanyanya, dengan tatapan cemas. Aduh, plis deh Vi, aku bukan anak kecil lagi.

Aku terkekeh pelan, “Gue nggak apa-apa kali Vi, nyantai aja deh.”

“Lo pulang sendiri lagi ?” Aku mendesah pelan, Via menatapku iba.

“Menurut lo ?” kataku, sambil tersenyum miris.

“Aduh, gue lama-lama makin nggak ngerti deh. Sebenarnya gimana sih status hubungan lo sekarang ini sama si Ca…”

“Gantung” jawabku, langsung memotong ocehan Via. Sudahlah, aku sedang tak berniat membahas soal ini.

“Sabar ya Shillaku sayaang” Via mengusap pipiku. Aku tersenyum.

“Ikut gue ke parkiran yuk, kasian si Iel udah nunggu lama. Lagian sopir lo jemputnya di parkiran kan ? “ Tanya Sivia. Aku menggeleng.

“Gue ga dijemput, naik taksi aja“ bantahku.

“Ya tetep aja lo harus nemenin gue ke parkiran. Taksi kan adanya di parkiran doang. Wooo” Sivia mencibirku. Terpaksa, aku mengikutinya dengan dongkol. Yah, jadi obat nyamuk gratisan lagi nih. Asal tau aja, Sivia kalo udah sama Gabriel bisa lupa dunia.

Aku dan Sivia berjalan beriringan menuju parkiran sekolah kami, dan terbukti, aku benar-benar menjadi ‘kacang’ dan ‘obat nyamuk’-nya Sivia dan Gabriel. Daripada bengong, kuputuskan untuk meraih HPku, dan segera mengutak-atiknya.

“CAKKA !” aku segera menoleh saat Sivia dan Gabriel bersamaan meneriakkan nama tersebut. Nama yang setiap malam kusebut, kuingat, dan kutangisi karena perubahannya. Tanpa sadar, aku menunduk saat mataku dan matanya menyatu. Jujur saja, aku tak menemukan apapun di matanya indahnya. Tak seperti dulu, matanya selalu menatapku penuh sayang.

Derap langkahnya semakin terdengar, pertanda ia makin mendekat. Aku meremas tanganku yang kini telah basah dengan keringat, dan telah sedingin es. Semoga saja ini bisa meredakan detak jantungku yang seakan meronta ingin keluar dari tempatnya. Mungkin orang yang berjarak 1km dariku pun masih bisa mendengar detak jantungku ini.

“Hei Yel, hei Vi” sapanya pada Sivia dan Gabriel. Hei, bagaimana denganku ? Apakah aku invisible sehingga ia tak bisa menyadari kehadiranku saat ini ?

“Yap, hei juga. Shillanya nggak disapa nih?” Ah, Sivia bodoooh ! Apa-apaan sih dia? Kenapa bawa-bawa namaku segala? Aku tak mau ia berpikir aku membutuhkan sapaan darinya, walaupun sebenarnya memang itu kenyataannya.

Cakka sepertinya mengabaikan perkataan Sivia barusan, terlihat dari mimik wajahnya yang cuek. Atau sok cuek? Entahlah, kesimpulannya dia enggan menyapaku. Jangankan menyapa, menatapku saja tak ia lakukan.

“Ada perlu apa ya manggil gue ?” tanyanya. Sivia dan Gabriel hanya saling tatap, lalu akhirnya mengangkat bahu, saling menyalahkan.

“Ga penting ternyata. Gue duluan ya” katanya, lalu segera berlalu dari hadapan kami. Ia lewat di hadapanku bagaikan aku tak tampak di matanya, tak sedikitpun pandangannya ia tujukan padaku.

Aku terus menatapnya, hingga tubuhnya hilang bersamaan dengan melajunya motor Ninja miliknya. Aku tak tahu, namun yang pasti ada desiran aneh dalam dadaku saat ini. Aku merasa, ini kali terakhir aku bisa melihat dirinya, melihat sosoknya. Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.

“Sabar ya Shil” kata Sivia lembut. Ia lalu mengusap punggungku perlahan, membantuku sedikit meredakan perih yang baru saja tercipta.

“I’m okay Vi. Trust me” kataku akhirnya. Lagi-lagi, aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku baik-baik saja saat orang yang sangat berarti di hidupku tak menganggapku ada?

***

Bagaimana bisa, kamu lupakan

Yang tak mungkin dilupakan

Aku selalu cinta, selalu cinta

***

Malam ini, lagi-lagi mataku tak bisa kuperintahkan untuk terpejam. Insomnia yang akhir-akhir ini menyerangku sepertinya kembali menghampiriku malam ini. Sebenarnya aku tak yakin hanya insomnia sialan itu saja yang menjadi penyebab susah tidurku saat ini, ada hal lain yang jauh lebih penting yang membuatku enggan menuju alam mimpi. Ya, Cakka-lah hal lain itu.

Kulirik jam yang melekat di tembok pink kamarku, yang membuatku menahan nafas. Kupejamkan mataku rapat-rapat. 5… 4… 3… 2… 1 .

Bersamaan itu pula terdengar alunan suaranya dari HPku. Lagu One Time-nya Justin Bieber yang ia nyanyikan memang kugunakan sebagai nada alarm Anniversary aku dan dia. Lagu yang ia nyanyikan di depanku saat anniversary kami yang ke 1 tahun, 2 bulan lalu. Lagu itu saat ini terasa begitu menusuk relung hatiku, kata demi kata yang terdengar seakan menambah perih di sini. Di hatiku.

Hari ini, 9 November 2010 tepat 14 bulan hubunganku dan dia berjalan. Ya, aku dan dia memutuskan untuk membentuk suatu hubungan di tanggal 09-09-2009. Tanggal yang bagus bukan? Asal tahu saja, banyak yang iri karena aku dan dia memiliki tanggal ini. Namun sayangnya, good date doesn’t change anything. Toh, hubunganku dan dia tak semulus tanggal cantik itu.

Kutatap HPku yang ada di genggamanku dalam, merelaksasikan seluruh pikiranku dari harapan-harapan yang berkecamuk dalam otakku saat ini. Bodohnya aku, aku tetap saja tak bisa berhenti berharap agar dia menghubungiku saat ini, sekedar mengucapkan ‘happy anniversary’ untukku.

Tiba-tiba benda mungil itu bergetar, menandakan sebuah pesan masuk menghampiri inbox-ku. Aku memekik kecil, ya Tuhan semoga pesan ini darinya. Semoga harapanku tak hanya menguap sia-sia. Kubaca pesan itu dan...

From : Sivia =)

Happy anniv shilla !

Hope everything will be better ;*

14 months , that’s a long time .

congrats !Keep smile please * Via =)


Aku mendesah, ah ternyata Sivia. Bodohnya aku terlalu berharap padanya. Orang gila pun mungkin tahu, tak akan ada ucapannya untukku. Tak seperti bulan lalu, yang ia menelponku dari jam 12 malam hingga 5 subuh, apalagi seperti 2 bulan lalu, yang ia sampai memanjat balkon kamarku dan ‘menculikku’ ke taman tepat jam 12 malam hanya untuk memberiku surprise. Tidak, kejadian itu tak akan terjadi saat ini, mungkin hingga seterusnya.

2 jam aku tetap tak bisa memerintahkan mataku untuk menutup, malah cairan hangat yang meronta keluar dari dalamnya, tanpa kuminta. Kubiarkan itu, kuharap semua goresan perih di hati ini akan ikut keluar dari tubuhku bersama dengan air mata yang mengalir tak kunjung henti. Tapi, selama apapun aku menangis, takkan ada yang berubah. Harapanku tetap takkan terwujud, takkan ada ucapan mesra darinya saat ini.

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia melupakan ini? Bagaimana bisa ia melupakan sesuatu yang harusnya telah menempel erat di otaknya? Bagaimana bisa ia melupakan yang tak mungkin dilupakan?

“Happy anniversary” ucapku, memecah keheningan dalam derai tangis.

***

Kamu hilang, aku menghilang

Semua hilang, yang tak terkira

Jangan tanya lagiTanya mengapa …

***

Kau tahu rasanya ditinggalkan? Kau tahu rasanya disakiti? Kau tahu rasanya dilupakan? Jika tidak, tanyakan padaku. Karena itulah yang sedang kurasakan saat ini. Orang yang kusayangi, kucintai dan begitu berarti di hidupku kini menghilang. Tanpa jejak. Perih yang tercipta di hatiku kini benar-benar bertambah, mengikis seluruh permukaan hatiku dan menancap tepat di bagian dalamnya. Aku bahkan tak tahu ungkapan apa yang pantas untuk hubunganku dan dia. Masih ‘in a relationship’-kah ? Tapi aku tak lagi berkomunikasi dengannya, dan benar-benar lost contact saat dia menghilang, 3 hari lalu. Atau kami sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi? Namun tak pernah tercipta kata berpisah antara aku dan dia, dan aku juga tak pernah berharap perpisahan itu terjadi antara kami.

Kalau saja aku bisa memilih, aku lebih memilih dia membenciku, asalkan ia tetap hadir di hadapanku, dibandingkan dengan kondisi seperti ini. Aku bahkan tak tahu ia dimana, sedang apa, apakah ia baik-baik saja, apakah ia merindukanku seperti aku merindukannya saat ini. Ya, mungkin kalian menganggapku cewek yang bodoh, yang bahkan tak tahu apa-apa tentang pacarku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Ia bahkan sudah tak pernah menganggapku ada, ia tak pernah lagi bercerita tentang dirinya padaku seperti dulu.

3 hari sudah ia menghilang, dan selama 3 hari pula aku terus mencarinya. Semua orang yang kenal akan sosok dirinya telah kutanyakan keberadaannya, namun seluruh jawaban mereka menyiratkan arti yang sama. Hanya gelengan kepala, ucapan ‘gue ga tau’, dan posisi bungkam yang terus aku terima. Putus asa? Ya, harusnya seperti itu, harusnya aku telah putus asa dan berhenti mencari, berhenti membuang waktuku. Tapi aku tak seperti itu, aku tak mau mengecewakannya, aku tak akan menyerah sebelum kutemukan dimana sosoknya berada saat ini.

Dan kau tahu apa anggapan orang lain akan keputusanku? Mereka malah memintaku untuk berhenti mencarinya. Alasan mereka sama, khawatir akan diriku yang langsung drop sejak kepergiannya.

Mereka bilang badanku semakin kurus, mataku bertambah cekung yang dibingkai dengan lingkaran hitam di bawahnya, wajahku terus terlihat pucat dengan bibir yang semakin pudar kecerahannya, namun tak kupedulikan itu. Yang terpenting hanya satu, dia kembali, bagaimanapun caranya.

*

Jam telah menunjukkan pukul 08.47, tapi aku tak beranjak dari tempat tidurku. Aku dilarang ke sekolah oleh kedua orang tuaku karena kondisiku yang tak memungkinkan. Aku jatuh sakit, dan kau tahu apa penyebabnya? Ya, tentu saja, siapa lagi kalau bukan Cakka?

Aku memilih untuk mengasingkan diri sementara ke villaku yang letaknya cukup jauh dari rumah, kuharap bisa membantu menenangkan pikiranku juga hatiku yang masih tertancap rasa perih. Sudah 4 hari aku disini, dan aku mulai bisa menenangkan diriku walaupun hanya sedikit.

Aku beranjak dari tempat tidurku, dan bergegas menuju kamar mandi, membasahi seluruh tubuhku dan berharap semoga bebanku ikut mengalir keluar dari tubuhku bersama air-air itu. Tak sampai 30 menit aku telah siap dengan pakaian yang biasa kugunakan saat jalan santai mengelilingi kompleks perumahan dekat sini, kegiatan yang selama 3 hari ini aku lakukan, sekedar untuk melepaskan penat.

Sekitar 15 menit sudah aku berjalan mengikuti arah kakiku, dan hmm ini dimana ya? Entahlah, aku sepertinya pernah ke tempat ini, tapi soal kapan, aku tak tahu. Ah, bodo amatlah. Aku lalu melanjutkan langkah kakiku yang terhenti, saat tiba-tiba kulihat seseorang yang begitu familiar di mataku. Dia menyerupai sosok Cakka, namun terlihat lebih dewasa. Dia Alvin, kakak Cakka.

“Kak Alvin !” aku menutup mataku, menanti respon yang akan kuterima, takutnya salah orang. Kalau salah, aku tak tahu bagaimana malunya aku.

“Shilla” aku membuka mata, bersyukur mendengar respon itu. Aku berlari kecil menghampiri Kak Alvin.

“Cakka mana, Kak ?” tanyaku langsung. Aku sedang tak ingin berbasa-basi saat ini. Kak Alvin pasti tahu dimana Cakka sekarang, Kak Alvin benar-benar orang yang tepat untuk kutanyakan.

Kak Alvin terdiam, bisa kubaca ada gurat kesedihan yang tersirat di matanya. Ia menghela nafas perlahan.

“Lo ikut gue sekarang Shil” katanya, lalu langsung menarik tanganku dan menuntunku kearah motornya.

“Kemana, Kak ?”

“Cakka butuh lo” jawabnya, yang langsung menumbuhkan ribuan tanda tanya di benakku.

*

Tanganku terangkat menutupi mulutku yang refleks terbuka, lututku lemas pertanda tak mampu lagi menopang tubuhku, bulir-bulir air hangat telah meronta keluar dari mataku. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang tersaji di hadapanku. Cakka, orang yang begitu berarti dalam hidupku, orang yang selalu terlihat kuat di hadapanku, kini terbaring tak berdaya di atas ranjang putih, dengan berbagai alat yang tak kutahu apa namanya menghiasi beberapa anggota tubuhnya. Ya Tuhan, ini mimpi kan? Tolong jawab bahwa ini mimpi, dan kuharap saat ku terbangun nanti ia tetap di sisiku dengan kondisinya yang sempurna.

Aku melangkah perlahan ke arah kamar tempat ia dirawat, lalu duduk tepat di samping ranjangnya. Kuraih tangannya yang begitu dingin dan kugenggam seerat mungkin, berusaha mentransfer sedikit rasa hangat dari telapak tanganku. Aku mengusap pipinya, membelai rambutnya sambil terus diiringi oleh meluncurnya air mata di kedua pipiku.

“Kak, Cakka kenapa? Kenapa dia bisa seperti ini? Cakka sakit apa kak?” tanyaku pada Kak Alvin. Ia diam, tak bergeming.

“Jawab aku kak! CAKKA KENAPA?!” aku mulai meronta, menuntut jawaban atas keadaan ini.

“Cakka sakit, leukemia, kanker darah” aku terdiam, tak menyangka penyakit itu menyerang Cakka, sosok yang begitu kuat di hadapanku. Ya, kuakui akhir-akhir ini berat badannya menyusut. Ia juga sering terlihat memegangi kepalanya yang kutahu pasti sakit, namun ia tak pernah mengakui itu padaku. Ia juga semakin jarang bermain basket, karena kondisi tubuhnya yang melemah.

“Tapi masih bisa disembuhin kan kak? Dia masih bisa bangun lagi kan kak?” tanyaku dalam isak tangis. Punggung tangan Cakka kini telah basah dengan air mataku. Kak Alvin menggeleng samar.

“Stadium akhir, Shil. Tim dokter sudah menyerah. Ia masih bisa hidup seperti ini pun karena bantuan alat-alat itu. Kalau alat-alat itu dilepas, dia pasti sudah..hmm..dia pasti...”

Tanpa perlu lanjutannya aku sudah tahu pasti apa yang akan Kak Alvin ucapkan, aku tahu. Aku kembali terisak, bahkan lebih dari tadi. Semakin kueratkan genggaman tanganku di tangan Cakka, aku tak rela melepasnya.

“Dokter sedang berunding, meminta persetujuan semua pihak untuk melepaskan semua alat bantu yang melekat di tubuh Cakka, karena menurut mereka, ga ada harapan lagi bagi Cakka. Walaupun berat, semua keluarga udah setuju, karena kami ga mau ngeliat Cakka terus tersiksa dengan status hidupnya yang ga menentu. Hanya satu orang yang belum kami tanyakan. Dia memang ga termasuk di keluarga kami, tapi kami tahu dia sangat berarti bagi Cakka. Dan orang itu lo Shil. Apa lo bersedia dokter melepas semua alat bantu itu?”

Aku terdiam. Kubiarkan otakku bekerja dan berpikir mancari jalan terbaik apa yang harus kutempuh. Aku memang tak mau melihat kondisi Cakka yang tak menentu seperti ini, tapi di sisi lain aku juga tak mau Cakka pergi. Ya Tuhan, jalan apa yang harus ku pilih ?

“Ikuti kata hati lo Shil, jangan peduliin tekanan dari luar. Kalo memang lo ga bersedia, kami akan meneri…”

“Lepasin semuanya Kak. Aku bersedia”

*

Dear my beloved Princess, Ashilla Zahrantiara

Kamu sayang aku? Kalau ya, berjanjilah kamu ga akan membiarkan air matamu mengalir saat aku pergi.

Maafin aku, kalau akhir-akhir ini aku bertingkah keterlaluan padamu

Maafin aku kalau aku ngecewain kamu

Maafin aku karena aku ga bisa menjaga kamu

Maafin aku kalau aku membuat mata indahmu memproduksi bulir-bulir air mata

Kamu tahu alasan kenapa aku ngejauhin kamu akhir-akhir ini ?

Itu karena aku ga mau kamu tahu apa yang terjadi padaku

Aku ga mau kamu tahu akan penyakit ganas yang kini bersarang dalam tubuhku

Aku tahu , aku terlalu kasar padamu

Tapi kulakukan itu, bukan karena kemauanku

Aku hanya ingin kamu benci aku

Aku hanya ingin kamu marah padaku

Agar saat aku pergi, takkan ada tangisan darimu untukku

Agar saat aku pergi, kamu melepasku dengan senyuman indahmu

Terima kasih atas semua yang kamu berikan untukku

Terima kasih atas segala kenangan indah yang aku lalui bersamamu

Terima kasih karena kamu telah mengajarkan aku arti cinta sesungguhnya

Terima kasih atas senyumanmu yang terus terbayang di benakku hingga saat ini

Kamu harus janji, setelah kepergianku kamu akan kembali tersenyum

Kamu harus janji, akan mencari sosok penggantiku yang jauh lebih baik dariku

Kamu harus janji, kamu ga akan terpuruk karena kepergianku

Kamu harus janji, akan terus menata hidupmu saat aku tak ada di sampingmu

I love you, now, and forever

With love,

Cakka Kawekas Nuraga

Air mataku langsung terjun dengan sempurna setelah membaca lembaran surat itu, benda terakhir darinya untukku. Kini, tak ada lagi sosoknya yang begitu berarti bagiku. Tak ada lagi suaranya, tak ada lagi sentuhannya. Raganya mungkin telah pergi, tapi satu hal yang pasti, dia tetap di sini, di hatiku.

Selamat jalan, selamat menempuh kehidupan baru di atas sana. Tunggu aku, saat waktuku tiba, aku kan menemanimu dan tersenyum bersamamu. Aku cinta kamu, aku selalu cinta kamu.

***

Finished on Sunday , November , 21th 2010

On 12:55 WITA


by dhinny