Tampilkan postingan dengan label kawekas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kawekas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Maret 2011

Selalu Cinta -a fanfict story-

Selalu Cinta

***

Kamu tanya , aku menjawab

Kamu minta , aku berikan

Kusayangi kamu …

***

Aku kembali terduduk di sini. Di taman ini, taman aku dan dia. Aku tak bisa menghitung bagaimana banyaknya kenangan yang aku dan dia miliki di tempat ini. Taman ini seakan menjadi saksi bisu kisahku dan dia.

Aku memejamkan mataku, menghela nafas sedalam mungkin dan menghembuskannya perlahan. Masih dengan mata terpejam, aku mencoba mengingat kembali kenangan manis antara aku dan dia.

Sore itu, aku berjalan menuju taman. Berlari, tepatnya. Kulirik jam tangan mungil yang melingkar anggun di tangan kiriku, dan mempercepat langkahku. Kulihat dia duduk di bangku taman, memangku gitarnya dan mulai memetik gitar itu perlahan.

“Maaf”, kataku setelah duduk di sampingnya. Ia menoleh, sepertinya baru sadar atas kedatanganku. Senyum terukir di wajahnya, senyum yang selalu kuingat hingga alam bawah sadarku.

“Kamu tuh ya, dari dulu ngaretnya nggak pernah hilang.” katanya, sambil mencubit pipi kananku lembut.

“Aaah”, aku meringis kecil sambil mengusap pipiku yang barusan disentuhnya. Wajahku memanas, aku yakin warnanya pasti semerah tomat. Ah, biar sajalah.

Ia tertawa kecil, lalu mengacak rambutku. Ini salah satu kebiasaannya saat bertemu denganku. Lagi-lagi, aku hanya bisa merengut, dan memajukan bibirku, manyun.

“Ah, berantakan nih” kataku sambil merapikan rambutku yang baru saja diacak.

“Biar berantakan tetep cantik kok. Aku suka” katanya sambil tersenyum padaku. Aku yakin, pipiku yang telah semerah tomat ini telah bertambah tingkat menjadi semerah cabai.

“Oh ya, kenapa telat ?” tanyanya kemudian.

“Aku ketiduran. Hehe” jawabku jujur. Ia tersenyum lagi. Kali ini beda, ia tersenyum geli, seakan menahan tawanya. Ia lalu kembali memetik gitar yang tadi ia hentikan. Petikan yang asal, namun tetap terdengar harmonis di telingaku. Ya, kuakui ia memang dewa dalam bergitar. Dan aku suka itu.

“Kebo” katanya lagi, pelan.

“Heh, ngomong apa? Enak ajaaa!” bantahku sambil mencubit lengannya. Ia tertawa lepas. Ah tawa itu, aku kangen.

“Kamu denger ya? Untunglah, ternyata pacarku nggak budek” Aku memalingkan wajahku darinya, lalu memasang wajah cemberutku. Ah, bodo.

“Yah, ngambek. Maaf deh maaf, becanda sayaaang” bujuknya sambil berlutut di hadapanku. Dasar gombal.

Aku terus memasang wajah manyunku, saat tiba-tiba ia menarik tanganku dan mengajakku berlari. Aku yang kaget harus benar-benar menjaga keseimbanganku agar tak terjatuh konyol di depannya.

“Kka, apa-apaan sih!” teriakku padanya, yang hanya dibalas dengan senyuman.

“Udah, ikut aja bawel” katanya.

Ia lalu membawaku ke ujung taman dan, hey! Aku tak pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Ini dimana? Dari mana ia tahu tempat ini?

“Tunggu disini bentar ya” katanya lembut sambil melepas genggamannya yang erat dari tanganku, dan berjalan memunggungiku. Aku melihat sekelilingku, ah sepinya tempat ini. Aku takut.

Aku terus menunggunya dengan perasaan tak karuan. Takut, cemas, dan ingin marah semua berkumpul jadi satu dalam benakku. Dia kemana sih? Sudah lebih 20 menit aku disini dan dia tak kunjung kembali.

Lututku bergetar, tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku terduduk lemas. Kubiarkan cairan hangat berebut turun dari bola mataku, membentuk aliran sungai kecil di pipiku. Dimana dia? Aku takut sendiri!

Samar-samar kudengar lantunan nada indah dari petikan gitar. Aku menoleh, ternyata ia disana. Kulihat, ia berjalan mendekat ke arahku.

“Kamu kenapa nangis?” tanyanya. Ia melepas gitar yang sejak tadi digenggamnya. Tangannya bergerak menuju pipiku, menghapus anak sungai yang tadi tercipta, lalu menatapku dalam. Ingin rasanya aku membentaknya, memarahinya, tapi ah…entah kenapa bibirku seakan tak searah dengan hatiku.

“Takut” hanya itu yang keluar dari bibirku. Dan kuakui, betapa bodohnya aku. Aku mengutuk diriku habis-habisan. Tentu saja sekarang ia menganggapku cewek penakut yang lemah.

Ia mengusap kepalaku, setelah sebelumnya mengucapkan maaf untukku. Aku masih tak habis pikir, kenapa aku tak bisa marah padanya? Apakah ia mengontrol seluruh jalan pikiranku? Ah, lupakan. Aku tahu aku bodoh.

“Baru aku tinggal bentar aja udah nangis, gimana nanti kalo aku pergi?”

Aku menoleh, “Ah, kamu ngomong apa sih, ga lucu” bantahku. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dari perkataannya barusan.

“Aku serius, nanti kalo aku pergi ninggalin kamu, kamu harus janji ya, kamu akan terus dan tetap tersenyum” katanya lagi.

“Aku ga mau janji, karena kamu ga akan ninggalin aku, kamu ga boleh ninggalin aku” Ia tersenyum, lalu merogoh kantong jaketnya.

“Nih” katanya sambil mengulurkan permen lollipop ke arahku. Aku tersenyum, dan meraih lollipop itu dari tangannya. Langsung saja aku mengemutnya. Manis !

“Eh, aku punya sesuatu buat kamu. Pegangin dulu nih” kataku sambil menyerahkan lollipop yang sedang kuemut padanya. Aku mulai mencari benda yang kemarin kubeli untuknya dalam tasku. Ketemu! “Ini buat kamu. Kemarin kubeli di kios pinggiran jalan, makanya bisa nulis-nulis nama. Maaf ya kalo jelek, aku lagi ga punya du…” ucapanku terhenti seketika saat kulihat ia memasukkan lollipop yang tadi kuhisap ke mulutnya. Hei, itu kan bekas ludahku! Tidak, aku tak jijik. Aku hanya, hmm canggung. Bukankah ini ciuman tak langsung? Iya kan? Ahh..

“Eh, kenapa?” tanyanya dengan paras watados –wajah tanpa dosa-- yang membuatku makin geregetan. Dasar cowok, tak pernah peka dengan hal-hal seperti ini.

“Ini, buat kamu.” kataku, memutuskan mengabaikan peristiwa barusan. Ia mengambil benda itu dari tanganku.

“Makasih sayaaang. Bagus banget nih, aku suka !” katanya senang sambil menatap gantungan kunci bola basket yang betuliskan CS, inisial namaku dan dia. Aku hanya tersenyum, senang ia menyukai pemberianku.

“Aku masih boleh minta sesuatu nggak ?” tanyanya.

“Minta apa lagi? Kan aku udah ngasih itu.” protesku, sambil menunjuk pemberianku tadi. Ia tertawa, lalu mengacak rambutku – lagi --. Ahh ..

“Aku nggak minta macem-macem kok. Aku cuma minta ini” Ia mengecup pipiku lembut, membuatku kaget.

“I love you” bisiknya.

***

Ku bicara, kamu yang diam

Ku mendekat, kamu menghindar

Separah inikah kamu dan aku

***

Aku membuka mataku, membuyarkan ingatanku tentangnya. Sungguh, ingin rasanya aku menangis mengingat itu semua. Tapi kutahan, karena aku tahu, air mataku takkan mengubah apapun.

Aku melirik jam tanganku, lalu mendesah perlahan. Sudah 2 jam aku menunggu disini, namun dia tak kunjung datang. Aku tak menghubunginya, aku ingin menguji seberapa ingatkah ia tentang janjinya. Karena dulu, ia tak pernah melupakan apa saja tentang kami, bahkan hal kecil sekalipun.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang telah berwarna keemasan. Tak ada lagi sinar menyengat pandangan, tersisa awan jingga yang berarak, pertanda senja tiba. Tercipta gradasi warna yang indah di atas sana. Tiba-tiba, bangku yang kududuki bergerak. Aku menoleh, dan kudapati ia duduk di sampingku. Dia diam. Aku juga.

Sekian lama aku dan dia terduduk dalam keheningan, tanpa ada satu pun kata yang terucap. Sungguh, aku tersiksa dengan keadaan ini. Aku kangen dia yang dulu, dia yang bawel, dia yang cerewet, dia yang selalu memanjakanku. Kuputuskan untuk bicara duluan. Aku tak tahan lagi.

“Kenapa telat ?” tanyaku pelan. Kuharap pertanyaan ini bisa mencairkan bongkahan es yang memisahkan aku dan dia selama ini. Kuharap pertanyaan ini bisa mengembalikan dirinya yang dulu. Dirinya yang tak lagi kutemukan selama kurang lebih seminggu ini. Dirinya yang tiba-tiba saja berubah tanpa ku tahu penyebabnya.

“Maaf” katanya. Aku diam, menunggu. Mungkin saja masih ada yang akan ia ucapkan. Tapi, nihil. Ia kembali tenggelam dalam diam setelah mengucap satu kata itu. Jujur saja, aku kecewa. ‘Maaf’ bukanlah jawaban yang aku harapkan. Aku menghela nafas dalam.

“Kamu tahu, seminggu ini aku kesepian. Seakan ada bagian yang hilang dari hidupku.” ungkapku. Aku menoleh padanya, namun tak ada respon, ia tetap tenggelam dalam keheningan.

“Hidupku seakan hampa, nggak ada lagi warna di dalamnya. Aku sendiri nggak ngerti, gimana bisa diriku yang sesungguhnya hilang bagai ditelan bumi hanya karena nggak ada kamu? Maksudku, kamu emang ada, ragamu memang selalu kulihat, tapi hatimu hilang. Dalam jarak sedekat ini pun aku tetap nggak bisa merasakan kehadiran hatimu di tempat ini. Aku nggak tahu dimana harus mencarinya, aku benar-benar nggak tahu. Mungkin hatimu udah berkelana ke tempat lain, mencari hati lain untuk tempat persinggahannya. Atau mungkin, hatimu telah benar-benar menemukan hati yang lain, yang jauh lebih baik dariku.” Aku berhenti sejenak. Mencoba memerintahkan otakku agar tak memproduksi kelenjar air mata saat ini. Mataku benar-benar telah menghangat, dan pandanganku mulai kabur, pertanda bulir-bulir air mata telah bersiap untuk berebut turun. Tidak, aku tak boleh menangis, setidaknya untuk saat ini. Aku tak boleh terlihat lemah di depannya. Aku cewek kuat, aku kuat.

“Aku tahu, seluruh perkataanku mungkin nggak ada artinya bagimu. Mungkin kamu nggak peduli apa yang berkecamuk dalam benakku saat ini. Tapi kamu harus tahu, bagaimanapun perlakuanmu padaku, hatiku tetap akan jadi milik kamu. Kamu nggak akan terganti. Kamu tetap menempati ruang terbesar dalam hatiku.”

Seakan tak peduli dengan semua perkataanku, dia tetap diam. Sungguh, aku tak mengerti lagi apa yang harus kulakukan agar ia bicara. Aku rela menukar apapun yang kumiliki agar ku bisa mendengar desahan suaranya. Aku rela.

Aku dan dia kembali tenggelam dalam keheningan. Kalau memang dia nyaman dengan keadaan ini, baiklah, aku akan diam. Aku tak akan bersuara. Akan kuturuti kemauannya.

“Udah? Aku mau pulang.” akhirnya, aku bisa mendengar suaranya. Sayangnya, rangkaian kata yang terucap dari bibirnya tak sesuai dengan harapanku. Rangkaian kata darinya bagai ribuan jarum yang menancap tepat di hatiku. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia berdiri. Mendekati motor Ninja hijau miliknya yang berdiri kokoh di samping taman. Kulihat, ia telah terduduk gagah di atas motor kesayangannya itu.

“Tunggu !” teriakku saat ia hampir memacu motornya, sambil berlari ke arahnya.

Aku mendekat, tapi… BRRUMM ! Ia menghindar. Motornya melesat bagai angin, dan membuatku hanya bisa terpana.

Ya Tuhan, separah inikah aku dan dia?

***

Bagaimana bisa, aku tak ada

Di setiapmu melihat

Sementara ku ada

***

“Shil, gue pulang dulu ya.” kata Sivia, sahabatku. Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepalaku.

“Iya, cepetan sana, sang pangeran udah nungguin tuh” ledekku, sambil menunjuk-nunjuk pacar sahabatku ini, Gabriel. Yang ditunjuk hanya nyengir kuda ga jelas. Sivia melangkah memunggungiku, namun saat langkahnya yang ketujuh ia berbalik ke arahku. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi menyatakan keherananku.

“Kenapa, Vi ?” tanyaku.

“Lo nggak apa-apa kan gue tinggal ?” tanyanya, dengan tatapan cemas. Aduh, plis deh Vi, aku bukan anak kecil lagi.

Aku terkekeh pelan, “Gue nggak apa-apa kali Vi, nyantai aja deh.”

“Lo pulang sendiri lagi ?” Aku mendesah pelan, Via menatapku iba.

“Menurut lo ?” kataku, sambil tersenyum miris.

“Aduh, gue lama-lama makin nggak ngerti deh. Sebenarnya gimana sih status hubungan lo sekarang ini sama si Ca…”

“Gantung” jawabku, langsung memotong ocehan Via. Sudahlah, aku sedang tak berniat membahas soal ini.

“Sabar ya Shillaku sayaang” Via mengusap pipiku. Aku tersenyum.

“Ikut gue ke parkiran yuk, kasian si Iel udah nunggu lama. Lagian sopir lo jemputnya di parkiran kan ? “ Tanya Sivia. Aku menggeleng.

“Gue ga dijemput, naik taksi aja“ bantahku.

“Ya tetep aja lo harus nemenin gue ke parkiran. Taksi kan adanya di parkiran doang. Wooo” Sivia mencibirku. Terpaksa, aku mengikutinya dengan dongkol. Yah, jadi obat nyamuk gratisan lagi nih. Asal tau aja, Sivia kalo udah sama Gabriel bisa lupa dunia.

Aku dan Sivia berjalan beriringan menuju parkiran sekolah kami, dan terbukti, aku benar-benar menjadi ‘kacang’ dan ‘obat nyamuk’-nya Sivia dan Gabriel. Daripada bengong, kuputuskan untuk meraih HPku, dan segera mengutak-atiknya.

“CAKKA !” aku segera menoleh saat Sivia dan Gabriel bersamaan meneriakkan nama tersebut. Nama yang setiap malam kusebut, kuingat, dan kutangisi karena perubahannya. Tanpa sadar, aku menunduk saat mataku dan matanya menyatu. Jujur saja, aku tak menemukan apapun di matanya indahnya. Tak seperti dulu, matanya selalu menatapku penuh sayang.

Derap langkahnya semakin terdengar, pertanda ia makin mendekat. Aku meremas tanganku yang kini telah basah dengan keringat, dan telah sedingin es. Semoga saja ini bisa meredakan detak jantungku yang seakan meronta ingin keluar dari tempatnya. Mungkin orang yang berjarak 1km dariku pun masih bisa mendengar detak jantungku ini.

“Hei Yel, hei Vi” sapanya pada Sivia dan Gabriel. Hei, bagaimana denganku ? Apakah aku invisible sehingga ia tak bisa menyadari kehadiranku saat ini ?

“Yap, hei juga. Shillanya nggak disapa nih?” Ah, Sivia bodoooh ! Apa-apaan sih dia? Kenapa bawa-bawa namaku segala? Aku tak mau ia berpikir aku membutuhkan sapaan darinya, walaupun sebenarnya memang itu kenyataannya.

Cakka sepertinya mengabaikan perkataan Sivia barusan, terlihat dari mimik wajahnya yang cuek. Atau sok cuek? Entahlah, kesimpulannya dia enggan menyapaku. Jangankan menyapa, menatapku saja tak ia lakukan.

“Ada perlu apa ya manggil gue ?” tanyanya. Sivia dan Gabriel hanya saling tatap, lalu akhirnya mengangkat bahu, saling menyalahkan.

“Ga penting ternyata. Gue duluan ya” katanya, lalu segera berlalu dari hadapan kami. Ia lewat di hadapanku bagaikan aku tak tampak di matanya, tak sedikitpun pandangannya ia tujukan padaku.

Aku terus menatapnya, hingga tubuhnya hilang bersamaan dengan melajunya motor Ninja miliknya. Aku tak tahu, namun yang pasti ada desiran aneh dalam dadaku saat ini. Aku merasa, ini kali terakhir aku bisa melihat dirinya, melihat sosoknya. Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.

“Sabar ya Shil” kata Sivia lembut. Ia lalu mengusap punggungku perlahan, membantuku sedikit meredakan perih yang baru saja tercipta.

“I’m okay Vi. Trust me” kataku akhirnya. Lagi-lagi, aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku baik-baik saja saat orang yang sangat berarti di hidupku tak menganggapku ada?

***

Bagaimana bisa, kamu lupakan

Yang tak mungkin dilupakan

Aku selalu cinta, selalu cinta

***

Malam ini, lagi-lagi mataku tak bisa kuperintahkan untuk terpejam. Insomnia yang akhir-akhir ini menyerangku sepertinya kembali menghampiriku malam ini. Sebenarnya aku tak yakin hanya insomnia sialan itu saja yang menjadi penyebab susah tidurku saat ini, ada hal lain yang jauh lebih penting yang membuatku enggan menuju alam mimpi. Ya, Cakka-lah hal lain itu.

Kulirik jam yang melekat di tembok pink kamarku, yang membuatku menahan nafas. Kupejamkan mataku rapat-rapat. 5… 4… 3… 2… 1 .

Bersamaan itu pula terdengar alunan suaranya dari HPku. Lagu One Time-nya Justin Bieber yang ia nyanyikan memang kugunakan sebagai nada alarm Anniversary aku dan dia. Lagu yang ia nyanyikan di depanku saat anniversary kami yang ke 1 tahun, 2 bulan lalu. Lagu itu saat ini terasa begitu menusuk relung hatiku, kata demi kata yang terdengar seakan menambah perih di sini. Di hatiku.

Hari ini, 9 November 2010 tepat 14 bulan hubunganku dan dia berjalan. Ya, aku dan dia memutuskan untuk membentuk suatu hubungan di tanggal 09-09-2009. Tanggal yang bagus bukan? Asal tahu saja, banyak yang iri karena aku dan dia memiliki tanggal ini. Namun sayangnya, good date doesn’t change anything. Toh, hubunganku dan dia tak semulus tanggal cantik itu.

Kutatap HPku yang ada di genggamanku dalam, merelaksasikan seluruh pikiranku dari harapan-harapan yang berkecamuk dalam otakku saat ini. Bodohnya aku, aku tetap saja tak bisa berhenti berharap agar dia menghubungiku saat ini, sekedar mengucapkan ‘happy anniversary’ untukku.

Tiba-tiba benda mungil itu bergetar, menandakan sebuah pesan masuk menghampiri inbox-ku. Aku memekik kecil, ya Tuhan semoga pesan ini darinya. Semoga harapanku tak hanya menguap sia-sia. Kubaca pesan itu dan...

From : Sivia =)

Happy anniv shilla !

Hope everything will be better ;*

14 months , that’s a long time .

congrats !Keep smile please * Via =)


Aku mendesah, ah ternyata Sivia. Bodohnya aku terlalu berharap padanya. Orang gila pun mungkin tahu, tak akan ada ucapannya untukku. Tak seperti bulan lalu, yang ia menelponku dari jam 12 malam hingga 5 subuh, apalagi seperti 2 bulan lalu, yang ia sampai memanjat balkon kamarku dan ‘menculikku’ ke taman tepat jam 12 malam hanya untuk memberiku surprise. Tidak, kejadian itu tak akan terjadi saat ini, mungkin hingga seterusnya.

2 jam aku tetap tak bisa memerintahkan mataku untuk menutup, malah cairan hangat yang meronta keluar dari dalamnya, tanpa kuminta. Kubiarkan itu, kuharap semua goresan perih di hati ini akan ikut keluar dari tubuhku bersama dengan air mata yang mengalir tak kunjung henti. Tapi, selama apapun aku menangis, takkan ada yang berubah. Harapanku tetap takkan terwujud, takkan ada ucapan mesra darinya saat ini.

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia melupakan ini? Bagaimana bisa ia melupakan sesuatu yang harusnya telah menempel erat di otaknya? Bagaimana bisa ia melupakan yang tak mungkin dilupakan?

“Happy anniversary” ucapku, memecah keheningan dalam derai tangis.

***

Kamu hilang, aku menghilang

Semua hilang, yang tak terkira

Jangan tanya lagiTanya mengapa …

***

Kau tahu rasanya ditinggalkan? Kau tahu rasanya disakiti? Kau tahu rasanya dilupakan? Jika tidak, tanyakan padaku. Karena itulah yang sedang kurasakan saat ini. Orang yang kusayangi, kucintai dan begitu berarti di hidupku kini menghilang. Tanpa jejak. Perih yang tercipta di hatiku kini benar-benar bertambah, mengikis seluruh permukaan hatiku dan menancap tepat di bagian dalamnya. Aku bahkan tak tahu ungkapan apa yang pantas untuk hubunganku dan dia. Masih ‘in a relationship’-kah ? Tapi aku tak lagi berkomunikasi dengannya, dan benar-benar lost contact saat dia menghilang, 3 hari lalu. Atau kami sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi? Namun tak pernah tercipta kata berpisah antara aku dan dia, dan aku juga tak pernah berharap perpisahan itu terjadi antara kami.

Kalau saja aku bisa memilih, aku lebih memilih dia membenciku, asalkan ia tetap hadir di hadapanku, dibandingkan dengan kondisi seperti ini. Aku bahkan tak tahu ia dimana, sedang apa, apakah ia baik-baik saja, apakah ia merindukanku seperti aku merindukannya saat ini. Ya, mungkin kalian menganggapku cewek yang bodoh, yang bahkan tak tahu apa-apa tentang pacarku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Ia bahkan sudah tak pernah menganggapku ada, ia tak pernah lagi bercerita tentang dirinya padaku seperti dulu.

3 hari sudah ia menghilang, dan selama 3 hari pula aku terus mencarinya. Semua orang yang kenal akan sosok dirinya telah kutanyakan keberadaannya, namun seluruh jawaban mereka menyiratkan arti yang sama. Hanya gelengan kepala, ucapan ‘gue ga tau’, dan posisi bungkam yang terus aku terima. Putus asa? Ya, harusnya seperti itu, harusnya aku telah putus asa dan berhenti mencari, berhenti membuang waktuku. Tapi aku tak seperti itu, aku tak mau mengecewakannya, aku tak akan menyerah sebelum kutemukan dimana sosoknya berada saat ini.

Dan kau tahu apa anggapan orang lain akan keputusanku? Mereka malah memintaku untuk berhenti mencarinya. Alasan mereka sama, khawatir akan diriku yang langsung drop sejak kepergiannya.

Mereka bilang badanku semakin kurus, mataku bertambah cekung yang dibingkai dengan lingkaran hitam di bawahnya, wajahku terus terlihat pucat dengan bibir yang semakin pudar kecerahannya, namun tak kupedulikan itu. Yang terpenting hanya satu, dia kembali, bagaimanapun caranya.

*

Jam telah menunjukkan pukul 08.47, tapi aku tak beranjak dari tempat tidurku. Aku dilarang ke sekolah oleh kedua orang tuaku karena kondisiku yang tak memungkinkan. Aku jatuh sakit, dan kau tahu apa penyebabnya? Ya, tentu saja, siapa lagi kalau bukan Cakka?

Aku memilih untuk mengasingkan diri sementara ke villaku yang letaknya cukup jauh dari rumah, kuharap bisa membantu menenangkan pikiranku juga hatiku yang masih tertancap rasa perih. Sudah 4 hari aku disini, dan aku mulai bisa menenangkan diriku walaupun hanya sedikit.

Aku beranjak dari tempat tidurku, dan bergegas menuju kamar mandi, membasahi seluruh tubuhku dan berharap semoga bebanku ikut mengalir keluar dari tubuhku bersama air-air itu. Tak sampai 30 menit aku telah siap dengan pakaian yang biasa kugunakan saat jalan santai mengelilingi kompleks perumahan dekat sini, kegiatan yang selama 3 hari ini aku lakukan, sekedar untuk melepaskan penat.

Sekitar 15 menit sudah aku berjalan mengikuti arah kakiku, dan hmm ini dimana ya? Entahlah, aku sepertinya pernah ke tempat ini, tapi soal kapan, aku tak tahu. Ah, bodo amatlah. Aku lalu melanjutkan langkah kakiku yang terhenti, saat tiba-tiba kulihat seseorang yang begitu familiar di mataku. Dia menyerupai sosok Cakka, namun terlihat lebih dewasa. Dia Alvin, kakak Cakka.

“Kak Alvin !” aku menutup mataku, menanti respon yang akan kuterima, takutnya salah orang. Kalau salah, aku tak tahu bagaimana malunya aku.

“Shilla” aku membuka mata, bersyukur mendengar respon itu. Aku berlari kecil menghampiri Kak Alvin.

“Cakka mana, Kak ?” tanyaku langsung. Aku sedang tak ingin berbasa-basi saat ini. Kak Alvin pasti tahu dimana Cakka sekarang, Kak Alvin benar-benar orang yang tepat untuk kutanyakan.

Kak Alvin terdiam, bisa kubaca ada gurat kesedihan yang tersirat di matanya. Ia menghela nafas perlahan.

“Lo ikut gue sekarang Shil” katanya, lalu langsung menarik tanganku dan menuntunku kearah motornya.

“Kemana, Kak ?”

“Cakka butuh lo” jawabnya, yang langsung menumbuhkan ribuan tanda tanya di benakku.

*

Tanganku terangkat menutupi mulutku yang refleks terbuka, lututku lemas pertanda tak mampu lagi menopang tubuhku, bulir-bulir air hangat telah meronta keluar dari mataku. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang tersaji di hadapanku. Cakka, orang yang begitu berarti dalam hidupku, orang yang selalu terlihat kuat di hadapanku, kini terbaring tak berdaya di atas ranjang putih, dengan berbagai alat yang tak kutahu apa namanya menghiasi beberapa anggota tubuhnya. Ya Tuhan, ini mimpi kan? Tolong jawab bahwa ini mimpi, dan kuharap saat ku terbangun nanti ia tetap di sisiku dengan kondisinya yang sempurna.

Aku melangkah perlahan ke arah kamar tempat ia dirawat, lalu duduk tepat di samping ranjangnya. Kuraih tangannya yang begitu dingin dan kugenggam seerat mungkin, berusaha mentransfer sedikit rasa hangat dari telapak tanganku. Aku mengusap pipinya, membelai rambutnya sambil terus diiringi oleh meluncurnya air mata di kedua pipiku.

“Kak, Cakka kenapa? Kenapa dia bisa seperti ini? Cakka sakit apa kak?” tanyaku pada Kak Alvin. Ia diam, tak bergeming.

“Jawab aku kak! CAKKA KENAPA?!” aku mulai meronta, menuntut jawaban atas keadaan ini.

“Cakka sakit, leukemia, kanker darah” aku terdiam, tak menyangka penyakit itu menyerang Cakka, sosok yang begitu kuat di hadapanku. Ya, kuakui akhir-akhir ini berat badannya menyusut. Ia juga sering terlihat memegangi kepalanya yang kutahu pasti sakit, namun ia tak pernah mengakui itu padaku. Ia juga semakin jarang bermain basket, karena kondisi tubuhnya yang melemah.

“Tapi masih bisa disembuhin kan kak? Dia masih bisa bangun lagi kan kak?” tanyaku dalam isak tangis. Punggung tangan Cakka kini telah basah dengan air mataku. Kak Alvin menggeleng samar.

“Stadium akhir, Shil. Tim dokter sudah menyerah. Ia masih bisa hidup seperti ini pun karena bantuan alat-alat itu. Kalau alat-alat itu dilepas, dia pasti sudah..hmm..dia pasti...”

Tanpa perlu lanjutannya aku sudah tahu pasti apa yang akan Kak Alvin ucapkan, aku tahu. Aku kembali terisak, bahkan lebih dari tadi. Semakin kueratkan genggaman tanganku di tangan Cakka, aku tak rela melepasnya.

“Dokter sedang berunding, meminta persetujuan semua pihak untuk melepaskan semua alat bantu yang melekat di tubuh Cakka, karena menurut mereka, ga ada harapan lagi bagi Cakka. Walaupun berat, semua keluarga udah setuju, karena kami ga mau ngeliat Cakka terus tersiksa dengan status hidupnya yang ga menentu. Hanya satu orang yang belum kami tanyakan. Dia memang ga termasuk di keluarga kami, tapi kami tahu dia sangat berarti bagi Cakka. Dan orang itu lo Shil. Apa lo bersedia dokter melepas semua alat bantu itu?”

Aku terdiam. Kubiarkan otakku bekerja dan berpikir mancari jalan terbaik apa yang harus kutempuh. Aku memang tak mau melihat kondisi Cakka yang tak menentu seperti ini, tapi di sisi lain aku juga tak mau Cakka pergi. Ya Tuhan, jalan apa yang harus ku pilih ?

“Ikuti kata hati lo Shil, jangan peduliin tekanan dari luar. Kalo memang lo ga bersedia, kami akan meneri…”

“Lepasin semuanya Kak. Aku bersedia”

*

Dear my beloved Princess, Ashilla Zahrantiara

Kamu sayang aku? Kalau ya, berjanjilah kamu ga akan membiarkan air matamu mengalir saat aku pergi.

Maafin aku, kalau akhir-akhir ini aku bertingkah keterlaluan padamu

Maafin aku kalau aku ngecewain kamu

Maafin aku karena aku ga bisa menjaga kamu

Maafin aku kalau aku membuat mata indahmu memproduksi bulir-bulir air mata

Kamu tahu alasan kenapa aku ngejauhin kamu akhir-akhir ini ?

Itu karena aku ga mau kamu tahu apa yang terjadi padaku

Aku ga mau kamu tahu akan penyakit ganas yang kini bersarang dalam tubuhku

Aku tahu , aku terlalu kasar padamu

Tapi kulakukan itu, bukan karena kemauanku

Aku hanya ingin kamu benci aku

Aku hanya ingin kamu marah padaku

Agar saat aku pergi, takkan ada tangisan darimu untukku

Agar saat aku pergi, kamu melepasku dengan senyuman indahmu

Terima kasih atas semua yang kamu berikan untukku

Terima kasih atas segala kenangan indah yang aku lalui bersamamu

Terima kasih karena kamu telah mengajarkan aku arti cinta sesungguhnya

Terima kasih atas senyumanmu yang terus terbayang di benakku hingga saat ini

Kamu harus janji, setelah kepergianku kamu akan kembali tersenyum

Kamu harus janji, akan mencari sosok penggantiku yang jauh lebih baik dariku

Kamu harus janji, kamu ga akan terpuruk karena kepergianku

Kamu harus janji, akan terus menata hidupmu saat aku tak ada di sampingmu

I love you, now, and forever

With love,

Cakka Kawekas Nuraga

Air mataku langsung terjun dengan sempurna setelah membaca lembaran surat itu, benda terakhir darinya untukku. Kini, tak ada lagi sosoknya yang begitu berarti bagiku. Tak ada lagi suaranya, tak ada lagi sentuhannya. Raganya mungkin telah pergi, tapi satu hal yang pasti, dia tetap di sini, di hatiku.

Selamat jalan, selamat menempuh kehidupan baru di atas sana. Tunggu aku, saat waktuku tiba, aku kan menemanimu dan tersenyum bersamamu. Aku cinta kamu, aku selalu cinta kamu.

***

Finished on Sunday , November , 21th 2010

On 12:55 WITA


by dhinny

Rabu, 19 Januari 2011

Punya cerita yang tokohnya CakShill?

Belakangan ini susah deh nyari cerita yang tokoh utamanya Cakshill,,
Nasib setelah fansite ning digusur...hihihi...
Di ICL lumayan banyak cuma dikit-dikit digusur padahal belum sempatku copy hiks :(

Dan kenapa cerita Cakshill selalu sad ending atau ga gantung -_-


Ohya bagi yang punya cerita Cakshill kirim ke e-mail kita yuk cakshillfevers@gmail.com

Atau

Tag ke FB Cakka Shilla Fevers yang ada di sidebar sebelah kiri blog ini...

Ditunggu loh... Ntar dimuat di blog ini :) oke...

Apa Salahku (A Short Story)

Apa Salahku (A Short Story)



“sori vin, aku ngga bisa…”


“ntaran aja ya vin.. aku lagi sibuk”


“males ah, lain kali aja ya vin”


“aku udah ada janji sama temen aku, jadi maaf, aku ngga bisa”


Yap, selalu… selalu kalimat-kalimat itu yang kamu ucapin tiap kali aku ngajak kamu, entah itu untuk jalan-jalan, main ke rumahku, atau sekedar makan siang bersama. Bingung, aku beneran bingung
banget sama semua sikap kamu akhir-akhir ini ke aku. Semakin menjauh.. itu yang
ku rasa.. kamu menjauh dari aku, dan entah karena apa, aku pun tak tau…


***


Oke, kenalin .. gue Alvin, itu tadi sekilas cerita tentang pacar gue Shilla yang akhir-akhir ini mulai berubah, dia udah ngga kayak dulu lagi. Tapi, walaupun gitu.. gue tetep mau positif thinking
kok sama dia. Bukan kah berburuk sangka adalah hal yang buruk, lagi pula..
mungkin saja dia lagi sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya dan gue harap itu
emang bukan cuma sebuah alasan dia buat menjauh dari gue.. I hope..


***


Pagi ini matahari bersinar begitu cerah, hari minggu ini gue berniat buat ngajak Shilla jalan, kangen gue sama dia.. udah lama kita gak ketemu, sekitar 1 bulan lah.. ya, walaupun kita sekampus
(beda jurusan).. oke, kayaknya gue harus nelpon dia dulu deh sebelum gue
berangkat kerumah dia.


“hallo beb..” sapa gue pada Shilla setelah dia mengangkat telepon.


“hai.. haloo beb, kenapa?” jawab Shilla sedikit gugup. Kenapa Shilla musti gugup? Lagi pula Alvin hanya meneleponnya kok.


“main yuk, kangen nih sama kamu..” ajak gue.


“ehm… ehm.. gabisa beb, aku udah janji sama bunda mau ngater belanja, lain kali aja ya, gapapa kan?” tolak Shilla.


“yaaaah.. masa ngga bisa sih? padahal kan udah lama banget kita ngga ketemu beb. Apa kamu ngga kangen sama aku?” tanyaku.


“ha? Kangen.. ya, aku kangen lah sama kamu”


“aku juga kangen banget sama kamu beb, makanya main yuuk, ayolah pliis.. Shilla cantik deh” Rayuku.


“beneran deh aku ngga bisa, maaf yaaa” tolak Shilla lagi. Aku menghela napas panjang. Yasudah lah.


“oh gitu ya, jadi beneran ngga bisa? Yaudah deh, lain kali aja.. bye beb.. love you”


“bye”. Klik, gue putusin sambungan telepon antara gue dan Shilla. Yap, seperti yang gue duga, dia pasti nolak. Tapi, its ok.. gue bisa rubah rencana gue untuk hari ini. Hem.. gue putusin
buat main ke taman kota. Kayaknya disana asik deh.



Shilla P.O.V


Hufftt.. lagi-lagi Alvin ngajak gue pergi. Jelas gue ngga mau lah.. males juga kali, lagian gue udah ada janji juga sama orang lain.. hehhe..


Dddrrrrrtttt… eh, hape gue geter, siapa yah yang nelpon? Apa Alvin lagi? Gue menebak-nebak.


‘Cakka Calling’.. yes Cakka, klik..


“hallo my dear..” ucapku.


“gimana, jadikan kita perginya?” Tanya Cakka dari seberang sana.


“ya so pasti jadi donk..” jawabku.


“hm,,, 15 menit lagi aku sampe ke rumah kamu, siap-siap ya.. dandan yang cantik ya sayang” ucapnya.


“oke deh, bye my dear..”


“bye”. Telepon terputus.



Alvin P.O.V


Udah lama keliling-keliling di taman, tapi, ga ada satupun yang seru. Ke bioskop deh.. siapa tau disana ada film yang seru, lumayan bisa sedikit ngilangin penat.


:: Di Bioskop ::


‘gilaaa.. antriannya panjang bener’ ucap gue dalam hati. Sambil nunggu antriannya sedikit lengang, gue pilih duduk di bangku deket loket. Gue edarkan pandangan gue ke sekeliling area bioskop.
“Shilla” ucap gue pelan. Sama siapa dia? Kok sama cowo? Wajah lelaki yang duduk
di samping Shilla.. tidak begitu jelas terlihat. Tapi, sepertinya gue pernah
liat dia, tapi dimana ya?.. jadi inget, tadi waktu gue ajak jalan, dia nolak,
katanya mau ngaterin nyokapnya belanja, kenapa sekarang malah ke bioskop?
Bareng cowo lagi. Sejak kapan bundanya Shilla berubah jadi laki-laki dan sejak
kapan kita bisa berbelanja di area bioskop? Gue mulai pusing, dada gue sesek
banget liat pemandangan kayak begini, gila aja.. pacar gue mesra-mesraan sama
cowo lain di depan mata gue. Gimana ngga ancur hati gue?


Gue beranjak dari kursi yang tadi gue dudukin. Ga ada niat buat ngelabrak Shilla sekarang. Ngga ada niat buat dateng dan minta penjelasan sama Shilla sekarang. Oke, gue ngeDOWN… gue memilih untuk
pulang kerumah dan gue harus renungin apa salah gue, apa dosa gue ke dia sampai-sampai
dia tega nolak ajakan gue demi jalan sama cowo lain.


***


Malem ini ngga ada bintang seperti malem-malem kemarin. ya, itu karena sejak tadi sore hujan mengguyur kota Jakarta. Gue duduk dibalkon kamar gue, gue termenung.. gue rasa, gue harus introfeksi
diri.. tentang kenapa akhir-akhir ini Shilla berubah.



FLASHBACK : ON


Sore ini gue berniat ngajak Shilla buat dinner di sebuah café di dekat pantai. Setelah Shilla menyetujuinya, gue lalu bergegas jemput dia make mobil kesayangan gue. Udah sekitar 3 minggu ini gue
kenal Shilla, dia baik, dia manis, dia cantik, dia ceria dan ramah.. gue
ngerasa nyaman kalo lagi ada di deket dia, dan gue pikir, dia juga ngerasain
hal yang sama sama gue.



:: Di Cafe::


“gimana Shil, kamu suka ngga?” Tanya gue.


“suka, suka banget.. kereen lagi.. romantis pula” ucap Shilla kagum.


“apa? Lo suka sama gue? Lo bilang gue keren dan romantis? Thanks Shilla” ucapku sedikit bercanda.


“yeee… bukan lo kali Vin, tempatnya” ujar Shilla sambil menjulurkan lidahnya kepadaku. Kami tertawa bersama.


“Shil, duduk disini deh.. kita liat sunset dulu..” ajak gue. Shilla hanya menurut.


“kita itung bareng-bareng yuk.. mulai dari sepuluh”. Shilla mengangguk.


“10.. 9.. 8.. 7.. 6.. 5.. 4.. .3.. 2.. 1.. kereen” ucap kami bersamaan.


“keren ya Vin sunsetnya.. indah banget tau ngga” ucap Shilla sembari tersenyum.


“iya Shil, aku juga mikir gitu.. indah, kayak kamu” ucapku sambil menggoda Shilla dan tersenyum jahil ke arahnya. Shilla mencubit pinggangku.


“gombal yaaa.. masih kecil juga udah pinter gombal.. yee” ucap Shilla sambil tertawa.


“idih.. aku udah gede gini juga.. masih aja dibilang kecil” ucapku sambil cemberut.


“ih, Alvin cemberut, lucu deh.. mirip bebek.. hahahahaha” tawa Shilla kembali terdengar. Kami terdiam beberapa saat.. hening….


“Shil…” ucapku memecah keheningan diantara kita.


“hmmm…” jawab Shilla sambil menghadapkan wajahnya kearahku.


“Shil.. ngga kerasa yah udah 3 minggu kita deket” ujarku. Shilla tersenyum.. senyumnya, setiap kali aku lihat senyumnya hatiku terasa beku.. seperti berada di kutub utara.. hahaa.. aneh..


“Shilla, selama aku deket sama kamu, aku ngerasa nyaman banget, kamu baik, perhatian dan pengertian.. aku suka sama kamu Shil”. Lalu Shilla menatapku..


“kenapa?” tanyaku pada Shilla.


“ngga apa-apa kok” jawab Shilla.


“malem ini juga, aku pengen kamu jadi pacar aku Shil” ucapku sedikit memaksa. Ku genggam kedua tangan Shilla, dingin.. mungkin dia gugup, sama sepertiku.. kurasa…


“Shil, kamu mau ngga jadi pacar aku? Jadi sesuatu yang indah dalam hatiku..” tanyaku serius. Shilla menunduk. Ku lepaskan tangan kananku yang tadi ku gunakan untuk memegang tangan Shilla. Aku
sentuh dagunya.. ku angkat wajahnya agar dia tidak lagi menunduk.


“so, gimana jawabannya Shil?” tanyaku lagi. Shilla terdiam sepertinya dia sedang berfikir.


“ya Alvin.. aku mau” jawabnya singkat, tapi sudah menjawab segala pertanyaan hatiku saat ini. Kemudian, refleks ku peluk Shilla.. “thanks banget ya Shil” ucapku.


2 bulan telah berlalu. Aku dan Shilla semakin dekat, dia semakin terasa spesial di hatiku. Tapi, semua itu berubah, saat aku dan Shilla berniat untuk makan siang bersama diluar kampus, dan
disana.. dengan tak sengaja Shilla bertemu teman lamanya..


“hai, Shilla ya?” ucap seorang laki-laki dibelakang kami, saat aku dan Shilla sedang mengantri. Shilla menoleh, begitu pun aku.. seketika itu juga Shilla memeluk laki-laki itu, ada rasa cemburu
dalam hatiku, begitu hebat rasa sakitnya.. apa Shilla tidak tau, aku disini..
aku pacarnya.. ada disampingnya saat dia memeluk laki-laki yang belum ku kenal
itu.


“Cakka,,, Cak… gue kangen banget sama lo.. lo kemana aja?” ucap Shilla sesaat setelah dia melepaskan pelukannya. ‘oh, Cakka ya namanya.. tapi dia siapanya Shilla?’ aku mulai bertanya-tanya dalam
hatiku..


“gue kuliah di Aussie Shil dan sekarang gue lagi liburan di Indo. Sorii ngga pernah kasih kabar” ucap lelaki itu yang kini telah ku ketahui namanya adalah Cakka..


“yaudah, berhubung gue lagi mau makan siang, lo gabung aja bareng gue” ajak Shilla pada Cakka tanpa meminta persetujuan dahulu padaku. Kami bertiga duduk di sebuah meja dengan 4 kursi.
Shilla dan Cakka saling berhadapan, sedangkan aku duduk di samping Shilla.
Shilla dan Cakka semakin hanyut dalam perbincangan mereka. Sampai-sampai Shilla
lupa bahwa dia datang kemari bersamaku, bukan bersama Cakka. Aku dapat
menyimpulkan sesuatu dari semua cerita yang mereka bicarakan, bahwa Cakka
adalah teman Shilla semasa SMA.


Setelah kejadian kemarin.. Shilla, dia berubah, sikapnya menjadi tak sama lagi. Berkali-kali aku meneleponnya, tapi tak juga diangkat. Berpuluh-puluh kali pula ku kirimkan pesan singkat
kepadanya, tapi nihil, semua pesanku tidak ada satu pun yang dibalasnya.


Sepulang kuliah, aku selalu berusaha menemuinya di kampus, dengan mendatangi dia di kelasnya.. tapi, nyatanya itu sia-sia, Shilla ngga ada.. pernah ku coba untuk datang kerumahnya. Tapi, Bi
Inah.. pembantu Shilla.. bilang, bahwa Shilla sedang tidak berada di rumah.
Lebih dari 3 minggu hubungan aku dan Shilla nampak tidak jelas. Aku seperti
terabaikan, terasa seperti sampah, barang bekas yang tak berguna, cepatlah ini
berakhir tuhan, aku rindu Shilla.


FLASHBACK : OFF



Hari ini juga aku mantapkan hatiku untuk menemui Shilla, tidak perduli bagaimana pun caranya, aku butuh penjelasan dari Shilla tentang hubungan ini.


Pukul 16:00 aku sampai di depan rumah Shilla, aku parkirkan mobilku di depan rumah Shilla, aku pencet bel rumahnya berkali-kali, tapi tak ada tanggapan, rumahnya pun terlihat sepi. Aku pun menelepon
Shilla, tapi sayang.. ponselnya tidak aktif. Aku putuskan untuk menunggu Shilla
disini.. 30 menit.. 1 jam… 2 jam.. 3 jam.. 4 jam.. aku tertidur.. “Alvin” pekik
Shilla, aku terbangun mendengar suara Shilla. “Shilla, akhirnya kamu pulang
ju…” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku. Seorang laki-laki yang sepertinya
tidak asing bagiku datang.


“my dear, ini belanjaan kamu mau di taruh dimana?” ucap laki-laki itu tanpa memandangku. Apa? ‘my dear’ apa artinya itu? Itu bukan kah sebuah panggilan
‘sayang’? aku butuh penjelasan!!


“Shil, apa maksud kamu dengan semua ini, dan siapa sebenarnya dia?” Tanya ku sedikit emosi. Shilla terlihat tegang.


“emm.. emm”


“ayo, Shil.. jawab, siapa dia?” tanyaku lagi.


“dia.. emm.. dia Cakka, mantan aku waktu SMA dan sekarang aku cuma temenan sama dia” jawab Shilla sedikit ketakutan.


“apa? Temen? Yakin cuma temen?” ucapku menyudutkan. Aku berjalan menuju Cakka, aku datang dan langsung mencengkram kerah bajunya.


“apa maksud lo? Lo mau rebut dia dari gue?” ucapku begitu emosi.


“santai bro, santai.. lepasin dulu tangan lo ini dari baju gue, dan gue bakal jelasin semuanya ke elo, asal lo lepasin tangan lo ini” ucap Cakka. Kulepaskan genggaman tanganku dari kerah
baju Cakka dengan kasar.


“cepet lo jelasin sekarang!!” perintahku.


“oke, gue jelasin ke elo sekarang, lo inget kan kalo kita pernah ketemu di café beberapa waktu yang lalu, itu juga awal pertemuan gue dengan Shilla, setelah sekian lama kita ngga ketemu.. dan
seperti yang lo ketahui, Shilla mantan gue waktu SMA.. dan gue dateng lagi ke
Indo emang dengan tujuan untuk menemui Shilla dan ngajak doi balik lagi ke
pelukan gue” jelas Cakka. Gue kembali geram, dan kembali gue cengkram kerah
bajunya.


“eitss.. bentar dulu bro, gue belum selesai cerita, dengerin dulu” ujar Cakka. Gue lepasin (lagi) tangan gue dari bajunya.


“setelah itu gue dan Shilla kembali deket, dia ngaku sama gue kalo lo tuh temennya, bukan pacar dia” deg, hancur banget hati gue denger pengakuan Cakka.. Shilla tega banget sama gue, dia ngga
tau betapa sayangnya gue sama dia, betapa rela gue berkorban demi dia, tapi apa
balasannya? Dia malah gini sama gue, mungkin salah gue juga, jadi cowo terlalu
baik.


Gue alihkan pandangan gue kearah Shilla, gue lihat dia lagi nangis, pengen banget saat itu juga gue peluk dia untuk sekedar nenangin hatinya. Tapi, kayaknya sekarang bukanlah saat yang tepat buat
ngelakuinnya.


“semakin hari gue semakin yakin kalo Shilla lagi sendiri, dengan dia selalu mau tiap kali gue ajak pergi” ujar Cakka meneruskan ceritanya. Oh… jadi ini alesan Shilla selalu nolak ajakan gue.. ya,
karena dia lebih milih jalan sama Cakka, cinta masa lalunya di bandingin sama
gue yang notabene pacar dia saat ini.


“suatu hari, gue ajak Shilla ke suatu tempat, gue nyatain lagi cinta ke Shilla.. gue minta dia balik ke gue, dan dengan mantap Shilla bilang ‘iya’ ”. What? Ternyata Shilla ngeduain gue, oke
fine.. ‘BUGH’ .. tanpa ba.. bi… bu.. lagi, gue layangkan tonjokan gue tepat di
muka Cakka, penuh emosi.. dan penuh rasa kebencian.. Cakka jatuh tersungkur,
gue ngga perduli sama dia. Gue samperin Shilla yang lagi nangis disana.


“Shil, jadi kamu maunya apa? Apa kamu mau hubungan kita sampai disini aja? Apa kamu lebih milih dia dibanding aku? Apa dia lebih baik dari aku? Apa aku ngga pernah ngertiin kamu, sampai-sampai
kamu tega ngeduain aku kayak gini?” tanyaku bertubi-tubi pada Shilla. jujur,
sakit hati gue saat ngomong semua itu, tapi semua itu emang harus gue ucapin,
demi mendapat penjelasan dari Shilla. Bukannya menjawab, Shilla malah semakin
keras menangis. Lalu kudekap tubuh Shilla, hangat.. aku rindu saat-saat seperti
ini, saat aku mendekap Shilla, dan kini semua terwujud.. tapi, yang aku mau
bukan dalam situasi seperti ini. Kulepaskan dekapanku. Ku tatap kedua mata
Shilla, ku temukan penyesalan dimatanya.


“Shil, jadi kamu maunya gimana? Aku bakalan terima apapun keputusan kamu, yang penting kamu bahagia dalam endingnya.. sumpah aku rela” ujarku lagi. Sekarang Shilla mendekapku, begitu
erat. Aku lepaskan dekapannya dari tubuhku, karena yang aku butuhkan sekarang
adalah kejelasan, bukan kehangatan.


“aa.. aalvin” Shilla mulai berbicara.


“ya Shil, jadi apa keputusanmu?” tanyaku. shilla kembali meneteskan butiran bening dari matanya. Aku tau itu, karena butiran itu jatuh mengenai tanganku. Sebab saat itu, aku sedang berlutut sambil
menggengam kedua tangan Shilla yang sedang duduk di kursi.


“aku.. hiks.. lebih milih” Shilla kembali diam.


“Siapa Shil? Siapa yang kamu pilih?” tanyaku tak sabar. Kudengar suara Cakka yang sedang meringis kesakitan di ujung sana, karena tojokkan ku tadi, yang kulayangkan padanya dengan begitu kuat..
dan tetap aku tak peduli, begitu pun dengan Shilla, dia tetap membiarkan Cakka
kesakitan disana, tidak ada tindakan untuk menolongnya saat itu juga.


“Alvin, kamu harus janji ya.. kamu harus terima apapun yang aku pilih” ujar Shilla. Aku mengangguk. Saat ini aku mulai pesimis, sepertinya Shilla tidak akan memilihku, tapi kucoba buang jauh-jauh
pikiran itu. Aku menatap Shilla lekat-lekat, begitu pun Shilla.


“Alvin, selama aku jadi pacar kamu, aku bahagia.. bahagia banget, ngga pernah sekali pun kamu buat aku sedih” aku tersenyum mendengar penuturan Shilla.


“Tapi, bersama Cakka.. aku pun merasa bahagia.. terlebih lagi, rasanya aku kembali menemukan sesuatu terpenting yang dulu pernah hilang dari hidupku”. Muka ku memerah, bukan karena marah, tapi
karena aku ingin sekali menangis.. tapi sialnya, aku adalah seorang lelaki.


“jadi Alvin, maaf.. kayaknya aku ngga bisa nerusin hubungan kita ini, aku lebih milih Cakka, maaf” Ucap Shilla sambil terisak, dan refleks aku langsung melepaskan genggaman tanganku darinya.
Kecewa, sungguh kecewa.. aku ngga nyangka kalo Shilla lebih milih masa lalunya
dari pada kehidupannya kini. Menyesal dulu aku pernah mengenalnya, harusnya
dari awal aku tak perlu bertemu dengannya, dan mungkin aku tidak akan pernah
merasakan sakit, sesakit ini.


Aku bangkit, lalu pergi meninggalkan Shilla begitu saja, tanpa berkata apa-apa, karena tujuanku telah terpenuhi, yaitu mendapat jawaban dari semua pertanyaan hatiku.


Ku masuki mobilku yang sedari tadi kuparkirkan di depan rumah Shilla, aku injak gas mobilku agar aku cepat-cepat enyah dari rumah Shilla, sungguh aku enggan untuk menemuinya lagi, bahkan untuk
melihatnya pun –walau sekilas- aku tak mau. Tiba-tiba saja hujan jatuh
membasahi bumi, langit seakan merasakan hal yang sama sepertiku saat ini.
Sungguh, walaupun kisahku dengan Shilla berakhir buruk seperti ini, aku tetap
bersyukur bahwa dia pernah menjadi bagian hidupku.


Ku injak pedal gas mobilku semakin kuat, dan itu membuat mobilku melaju semakin cepat. Kacau.. begitu kacau pikiranku saat ini.. yang aku pikirkan adalah Shilla dan kebodohan diriku sendiri yang
tidak dapat membuat Shilla tetap bertahan dalam pelukanku.. lampu lalu lintas
di perempatan jalan menyala berwarna merah, tapi aku tidak perduli.. aku tetap
melajukan mobilku dengan kecepatan penuh.. dan tanpa ku tahu, dari samping ada
mobil truck yang juga melaju dengan kecepatan tinggi dan… ‘DUUAAARR’..


Sakit, pusing, aku merasa tubuhku penuh dengan darah, sekilas kulihat sekelilingku banyak sekali warga yang mengerumuniku.. ku coba untuk bangkit, tapi begitu sulit.. ringan, sekarang aku
dapat bangkit dengan mudah.. tapi, apa? Aku bisa melihat tubuhku sendiri tanpa
perlu bercermin? Bahkan saat ku coba meraih pintu mobilku, benda itu sudah
tidak dapat ku sentuh.. semua seakan hampa, seperti bayangan.. ada apa
denganku?


Siapa pun, gue disini.. kenapa? Kenapa mereka semua ngga ngehirauin gue? Apa gue ngga terlihat? Ah entah lah.. tapi, samar-samar ku dengar seorang warga berkata, bahwa nadiku telah berhenti.. apa
mungkin aku telah meninggal dunia? Tapi mengapa? Aku masih ingin hidup, aku
masih ingin mencari pengganti Shilla untuk menemaniku, tapi mengapa ini
kenyataan yang ku dapat.. miris sekali rasanya hidupku ini.


Sesaat kemudian, kulihat ada cahaya diatas sana, begitu terang dan putih… tiba-tiba saja tubuhku terangkat menuju cahaya itu, entah apa yang membuatku dapat melayang seperti ini.. aku memasuki cahaya itu.. perlahan
cayaha itu tertutup dan hilang….




THE END

Aku Bukan Kenanganmu (A Short Story FanFiction)

Sender : My Prince

09.01.2011 13 : 37

Buruan dandan, I’ll be there soon :)

***

Pendulum jam itu bergerak dan berdenting duakali menunjukkan tepat pukul dua siang. Siang yang cukup cerah, suhu sinarmatahari berada pada suhu ideal bagi tumbuhan untuk melakukan fotosintesis. Ah,terlalu ilmiah ya? Jika ditranslate dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti,suhu siang ini sangat tepat untuk menikmati semangkuk es jenis apa pun.

“Ting...tong,” suara bel rumah menggema ke penjururuangan. Gadis itu merapikan rambutnya sebentar sebelum berlari keluar kamaruntuk membukakan pintu.

Laki-laki muda itu sedang berdiri membelakangipintu teras rumah, bersandar pada salah satu pilar. Memasukkan kedua tangannyake dalam saku celana sembari memandangi point of interest halaman rumah ini.Sebuah air mancur mini lengkap dengan kolam ikan terletak di sudut halamanrumah. Dia sedang akan mencoba menghirup udara segar ketika pintu rumah initerbuka.

Laki-laki itu berbalik dan mengucapkan sebuahkata yang terlalu sering diucapkan untuk membuka pertemuan. “Hai!”

Gadis yang masih tampak bersembunyi di balikpintu itu tersenyum. Kemudian membukakan pintu dengan sempurna dan keluar untukmenyambut kedatangan princenya. Tapi...dia mengamati penampilan laki-laki itu.Celana jeans dan kaos biru donker? Sebentar sebentar. Ini terlalu santai.Terlalu santai jika dibandingkan dengan penampilannya.

“Hei,” kata laki-laki itu sambil terkekeh.“Kamu terlalu formal, Shilla sayang!” komentarnya melihat gadisnya mengenakansebuah dress meskipun dress itu simple.

“Kamu juga,” balas Shilla. “Terlalu santai.Emang kita mau kemana?”

Laki-laki itu mendekat ke arah Shilla,meletakkan kedua tangannya di pundak Shilla dan memutar tubuh itu hinggamembelakanginya.

“Kenapa sih, Kka?” tanya Shilla heran denganperlakuan Cakka.

“Kamu,” kata Cakka sambil mendorong pelantubuh itu masuk ke dalam rumah. “Ganti pakaian yang lebih santai. Kita mau kepantai.”

“Ke pantai?”

“Udah cepetan ganti!” katanya sambil memaksatubuh Shilla masuk kembali ke dalam rumah.

***

Hamparan pasir putih itu terbentang dari ujungbarat ke ujung timur, menghambur di tepian pantai yang beralun tenang. Di ujungbarat dan timur, tampak beberapa batuan dan karang turut serta menambahkeindahan panorama pantai ini. Angin pantai yang khas datang menyapa dua sejoliyang tengah duduk di sepanjang semen hitam yang memang di design sebagai tempatbersantai. Di bawah pohon yang berdaun cukup lebat ini, mereka duduk menghadaplazuardi laut.

“Kok tumben banget sih ngajakin ke pantai?”tanya Shilla sambil menselonjorkan kedua kakinya, melampaui batas antara semendan pasir. Dia menoleh ke arah Cakka yang duduk dengan memeluk kedua lututnyasantai.

“Nggak suka ya?” Cakka gantian menoleh padaShilla dan tersenyum ketika memandangi wajah cantik itu. Rambut panjang gadisdi hadapannya ini menari-nari tertiup angin, sebagian jatuh di bagian wajahnya.Cakka menggerakkan tangannya untuk menyibakkan anak rambut itu dan sepertibiasa, Shilla hanya tersipu malu menerima perlakuan itu.

“Mmm,” Shilla mencoba menutupi kegugupannyakarena perlakuan Cakka barusan. Respon dalam dirinya memang tidak pernahberubah, degup jantungnya selalu berpacu lebih cepat tiap kali Cakkamemperlakukannya demikian. “Suka sih, udah lama nggak ke pantai. Tapi heranjuga kenapa kamu milih pantai, biasanya kan kamu lebih suka nonton atau nyasarke time zone. Lah ini? Pantai? Kayaknya kok nggak Cakka banget!”

Cakka terkekeh. Terdiam untuk beberapa saatdan kembali menikmati panorama pantai, menerawang jauh ke hamparan biru dihadapannya. “Karena pantai ini indah. Ya kan, Ra?” katanya kemudian masihdengan tatapan lurus ke depan.

Shilla tersenyum kecut mendengar sapaan itu.Dia membuang muka. Ini sudah ketiga kalinya Cakka memanggilnya ‘Ra’ semenjak merekadatang di tempat ini. Dia menunduk. Dan alasan itu, sungguh tidak masuk akal.Jelas bukan itu alasan Cakka mengajaknya kemari. Bukan. Cakka bukan tipikalorang yang suka dengan keindahan pantai semacam ini. Shilla tahu itu.

“Oh iya, Shill,” kata Cakka yang diam-diam disyukuriShilla karena akhirnya Cakka ingat dengan namanya. “Emang kamu nggak sukapantai ya?”

Shilla tersenyum tipis, senyum yang sangatdipaksakan. “Pertanyaanmu yang tadi kayaknya punya inti yang sama deh!”

“Oya?” Cakka menoleh cepat ke arah Shilla.

Shilla mendecakkan lidah. “Ayolah, Kka, akutahu kamu sedang tidak konsen!” umpatnya dalam hati. Dia memutuskan untuk tidakmenjawab pertanyaan Cakka.

Hening. Hanya deburan ombak kecil yangterdengar sayup di telinga mereka. Arak-arakan buih itu seakan mengambarkanhati Shilla yang mulai bergejolak. Ada perasaan-perasaan kecil yang menyeruakdalam hatinya. Perasaan itu. Muncul lagi.

“Main air yuk!” Cakka meraih pergelangantangan Shilla. Shilla menatap Cakka sebentar dan akhirnya beranjak.

Mereka berdua berjalan bersisian di sepanjangbibir pantai, menikmati kelembutan pasir pantai lewat kulit kaki mereka yangsengaja tidak memakai alas. Matahari sudah agak condong ke barat, sinarnya jugasudah menghangat tak sepanas tadi.

Shilla masih berjalan lurus menyusuri hamparanpasir, sedangkan Cakka entah kenapa sudah tidak di sampingnya lagi. Sepertinyaberhenti sejenak. Shilla tetap berjalan menikmati sepoi angin yang ditawarkanoleh laut. Siapa tahu angin itu dapat menerbangkan gundukan kegalauan dalamhatinya.

“Woi, Shill,” teriak Cakka dari belakang.Shilla menoleh dan. . .

“Cipak!” percikan air laut bersarang di wajahShilla.

“Cakkaaaaa,” teriak Shilla manja sambilmengelap wajahnya. Detik selanjutnya dia sudah berlarian mengejar Cakka, sambilmembawa pentungan (?). Cakka pun berlari lebih cepat untuk menghindari Shillayang terkadang berlaku bar-bar kalau Cakka menjahilinya.

“Stop! Stop! Stop!” kata Cakka sambil berhentimembungkuk, ngos-ngosan! Dia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yangkering. “Capek!”

Shilla berdiri di samping Cakka sambil melipattangannya di depan dada. “Hah, cemen, segitu aja capek!” katanya sambil mencibir.

Cakka menoleh cepat, dia menegakkan tubuhnyakembali dan langsung memiting lengan Shilla. “Apa kamu bilang? Mau aku ceburinke laut?” katanya sambil menyeret-nyeret Shilla ke arah laut.

“Ahhh, Cakka Cakka jangan dong!” Shillameronta-ronta ingin melepaskan diri, namun tangan Cakka lebih kuat menahanlengan Shilla.

“Haha, salah sendiri ngatain aku cemen! Belompernah diceburin ke laut kan? Ha?” Cakka masih menariknya sambil tersenyumlebih jahil. Kaki-kaki mereka kini telah menyentuh pingggiran air laut.

“Ceburin aja kalo tega!” Shilla menjulurkanlidah.

“Kenapa nggak? Ayo!”

“Ahh, ahh, becanda, Kka!”

“Nggak ada becanda-bencandaan!” Cakka menariklengan Shilla lebih keras. “Itu konsekuensi karena kamu telah berani mengejekCakka!”

“Hah? Sebegitunya!”

“Biar! Sini,” Cakka menyeret Shilla lebih jauhhingga tinggi air laut berada pada lutut mereka.

“Ahh! Ampun, Kka!” teriak Shilla sambilmemasang muka melas, kali aja Cakka prihatin.

Cakka berhenti. Tuh kan iya, Cakka prihatin.Tapi kini raut mukanya lebih serius. “Minta maaf dulu sama Pangeran Cakka!”

“Ha? Nggak!” Shilla memalingkan wajah soknggak peduli.

“Ceburin apa minta maap?”

Shilla menatap wajah Cakka yang masihtersenyum menggoda. “Sungguh diriku dilanda dilema. Pilihan yang sulit!”katanya sambil sok berpikir keras.

“Cepetan! Minta maap! Atau aku ceburin nih?” ancamCakka.

Shilla mendecakkan lidah. “Ck, iye iye, akuminta maap!”

“Apa?”

“Minta maap!”

“Nggak ikhlas banget!”

“Ihh, iya deh! Pangeran Cakka yang ganteng,Shilla minta maaf yah!” rajuk Shilla manja.

Cakka tersenyum puas sambil mengacak-acak rambutShilla. “Ihh, gemes tauk!” kata Cakka. Dia kemudian menggandeng pergelanganShilla. “Duduk lagi yuk, Ra, capek!”

Shilla tertegun, dia terdiam, senyum yangtadinya ada di bibirnya menyusut. Kakinya tidak bergerak dari tempatnya berdiripadahal tangan Cakka telah menariknya untuk berjalan, meninggalkan tempat ini.

“Kenapa?” tanya Cakka melihat Shilla yangtidak merespon ajakannya. Shilla memalingkan wajah. Cakka yang sudah berjalansatu langkah dihadapannya mendekat lagi.

“Ini adalah keempat kalinya kamu manggil aku‘Ra’!” kata Shilla pelan.

Cakka terhenyak. Raut mukanya menampakkan rasabersalah. Kesalahan yang sudah berulang kali ia lakukan selama empat bulan inibersama Shilla. Dia menunduk sebentar, tak ingin mengucapkan kata maaf karenaitu sudah terlalu sering ia ucapkan dan toh akhirnya ia langgar lagi. Tak adagunanya! Ia memutuskan untuk menggerakkan kepalanya ke arah barat danmemicingkan mata ketika melihat sesuatu di arah sana.

“Kamu,” kata Cakka pelan. “Balik ke tempatyang tadi ya! Aku beliin minuman!”

Shilla mendesah pelan, ia tahu Cakka berusahamengalihkan pembicaraan agar tak mengungkit masalah itu lagi. Shilla hanyamengangguk sebagai jawaban. Hal yang sudah terlalu sering ia lakukan. Denganberat hati, ia berjalan gontai ke tempat tadi.

Shilla termenung sambil menatap lurus kedepan. Pikirannya sudah terpenuhi masalah itu. Ya, hanya masalah itu. Cakkamemang sudah sering memanggilnya ‘Ra’ atau pun ‘Zahra’. Nama kekasihnya yangsudah putus selama setahun belakangan ini. Shilla tahu, mereka putus karenakepindahan Zahra ke Aussie. Zahra akan menetap di sana dan mengambil keputusanuntuk mengakhiri hubungan mereka. Tidak ada masalah di antara mereka, jadi wajarsaja jika Cakka terus saja teringat akannya.

Shilla menggerak-gerakkan telunjuknya di ataspasir, membentuk pola abstrak untuk mengurangi kegalauan hatinya. Tapi, sampaikapan Cakka akan seperti ini? Mencintai Shilla dibalik bayang semu seorang yangseharusnya sudah menjadi masa lalunya. Apa tadi? Mencintai? Dan bahkan saat iniShilla ragu apakah cinta itu ada di antara mereka.

Shilla menghembuskan nafas berat, dia masihmengukir sesuatu di atas pasir itu. Entahlah. Dia tak pernah tahu kenapa diabisa bertahan. Mungkin karena Cakka adalah orang pertama yang mampu membuatnyatersanjung, mampu membuatnya melayang dengan perlakuan-perlakuannya. Seseorangyang telah sukses membuat tersipu-sipu saat memandangi wajahnya. Ya, karenaCakka yang pertama. Karena dia mencintai Cakka, dan itulah yang membuatnyabertahan.

Zahra. Ingatan Shilla kembali ke sosok itu.Mungkin iya ia tidak secantik Zahra, tidak sebaik Zahra, tidak memiliki bakatseperti yang dimiliki Zahra, tidak sepopuler Zahra, tidak memiliki semuakelebihan yang dimiliki Zahra. Tidak. Siapa sih Shilla dibandingkan Zahra?Harusnya Shilla sadar akan hal itu dari dulu. Dia siapa? Dia tidak mungkinmampu menggantikan Zahra. Sesak memenuhi rongga hatinya tiap kali mengingatakan hal ini. Dia tidak memiliki apa pun. Karena dia berbeda dengan Zahra,karena dia bukan Zahra, karena dia Shilla. SHILLA. Lagi-lagi Shillamenghembuskan nafas berat, berharap kegalauannya akan sedikit terobati. Diamenyadari satu hal kini. Bahwa sebenarnya ia lelah dengan kondisi ini.

“Hei!” suara Cakka menyadarkan dari lamunanpendeknya. Pendek? Lamunan akan hal ini tak pernah menemui ujung.

Cakka membawa dua cone es krim rasa tiramisudan menyodorkan salah satunya kepada Shilla. “Nih, mumpung panas-panas gini.Lumayanlah!” Setelah Shilla menerima es krim tersebut, Cakka duduk di sampingnya.

Shilla melihat es krim itu dan begitu tahurasa es krim itu, tiramisu, ia tersenyum muram. Ia sudah tidak berminat lagi. Iamenunduk mengamati es krim yang ada di genggamannya kini dengan lesu.

“Zahra suka tiramisu ya?” tanya Shilla.Setengah mati ia menahan sesak dalam dadanya tiap mengungkit masalah itu.

Cakka yang baru saja membuka bungkus es krimitu menoleh cepat. “Nggak usah bahas itu lagi, Shill! Please!”

“Tapi iya kan?” Shilla mendesak. Ia hanyaingin semua ini lebih jelas. Itu saja.

“Tahu darimana?” Astaga, Cakka sebenarnyabodoh atau tolol sih *C-Luv, peace --V*.

Shilla menutup matanya. Dan Lihatlah, betapaCakka tidak peka dengan hal ini. Betapa Cakka selalu tidak sadar dengan apayang dia lakukan. Tidak sadar setiap kali memanggil Shilla dengan nama Zahra,tidak sadar dengan apa yang dia lakukansebenernya lebih karena bayang-bayang Zahra.

“Kamu tahu kan, Kka, aku nggak suka tiramisu.Aku udah pernah bilang kan dulu?” kata Shilla berat. Mengungkap kenyataan bahwaCakka lebih ingat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Zahra ketimbangdirinya.

Cakka terhenyak. Lagi dan lagi dan terus sajadia seperti ini. Penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi. Ingin rasanya iamemaki dirinya sendiri, yang terlalu bodoh dengan urusan ini. Ia sudah segenaphati berusaha melupakan kenangan itu, tapi nyatanya tak semudah yang iabayangkan. Ingatan itu terus dan terus saja melekat di benaknya. Bahkan untukmelupakannya, ia harus menyakiti seseorang. Seseorang yang sebenarnya terlalutidak pantas untuk menerima perlakuan ini.

Shilla menyodorkan kembali cone es krim itukepada Cakka. Jelas. Es krim sudah tak menarik lagi. Cakka menerima es krim itudan memutuskan meletakkan kedua cone es krim, es krimnya dan es krim Shilla, diatas pasir. Biarlah ia melumer.

Untuk beberapa waktu mereka terdiam, Shillahanya menunduk mencari cangkang kerang yang mungkin saja bisa ia lemparkanjauh. Sejauh ia bisa memendam semua ini. Sedangkan Cakka? Ia sudah pasrah, iatahu ia salah.

Cakka memberanikan diri untuk meraihpergelangan tangan Shilla. “Kita pulang aja yuk, Ra!” Ops! Tiba-tiba Cakkasendiri yang beraksi hebat dengan panggilan itu. Arghhhhh! Kenapa satu sukukata itu muncul lagi? Cakka merutuki sendiri kebodohannya. Ingin rasanya Cakkamembenturkan kepalanya, yang telah mengkomando secara tidak ia sadari untukselalu melakukan hal bodoh itu.

Shilla menunduk, tersenyum kecut, danmelepaskan pelan genggaman tangan Cakka. Air matanya mulai menggenang dipelupuk matanya. “Sebenernya kamu pacaran sama siapa sih, Kka? Aku atau Zahra?”tanyanya dengan nada suara bergetar. Ia menahan agar air mata itu tidakterjatuh.

Cakka. Ia sudah kehilangan semua akalnya untukmenjawab pertanyaan Shilla. Rasa bersalah itu hampir tak ada gunanya. Tiapwaktu ia merasa bersalah, tapi toh dirinya tak bisa lepas dari semua itu. Iapasrah menerima segala konsekuensi dari semua ini.

“Shill, mungkin kata maaf udah terdengar basibahkan kadaluarsa di telingamu, tapi,” Cakka tak mampu meneruskan kata-katanya.“Ck,” dia mendecakkan lidah dan terdiam sebentar hingga akhirnya mengambilancang-ancang untuk berhati-hati mengucapkan kalimat ini. “Kamu sama Zahrapunya banyak kesamaan.”

“Tapi aku bukan Zahra. Aku Shilla.” Shilla takbisa membohongi bahwa hatinya mulai berontak.

“Aku tahu, Shill, aku tahu. Dan itulah yangmembuat aku suka sama kamu. Sungguh, di awal aku memang tertarik denganmu,dengan Shilla. Tapi, tapi entahlah. Semakin lama aku bersama kamu, semakin akuselalu teringat dia. Aku pikir aku mampu melupakannya, tapi ternyata,” Cakka takmeneruskan kalimatnya.

“Tapi ternyata kamu selalu ingat sama dia kan?Selalu ingat tempat kesukaannya kan? Pantai ini, kamu mengajakku ke sini jugapasti dengan alasan yang sama. Karena dia suka dengan tempat ini kan?”

Cakka terpojok, entah kenapa kata-kata itubegitu menohok dirinya. Karena ternyata itulah kenyataan yang selama initerjadi, yang selalu coba ia sangkal. Namun. Tak mampu. Cakka mendesah pelan.“Ternyata dia belum bisa hengkang secara sempurna dari ingatanku, dan justrukamu yang membangkitkan kenangan itu.”

Shilla masih menunduk. Gejolak dalam hatinyaitu makin tak karuan. Akhirnya. Akhirnya Cakka mengakui hal itu juga. Hal yangsebenarnya sudah Shilla pastikan selama ini. Shilla tersenyum tipis, menyadarikebodohannya sendiri.

“Kalian terlalu mirip, Shill. Kalian yangselalu tersipu tiap kali aku menyanjung kalian, kelembutan kalian, kalian yangsering manja tapi sebenernya dewasa.”

Jlep! Pengakuan itu begitu menyayat hatiShilla. “Ayo, Kka, terus saja ucapkan semua itu. Terus! Terus ungkapkankenyataan dibalik semua ini! Biar aku nggak setengah-setengah lagi merasakansakit ini!” gumamnya, dalam hati.

“Entah, Shill, aku memang bodoh!”

Shilla beranjak. Terdiam sebentar sambil memejamkanmata, mencari kekuatan untuk mampu membuka mulut. “Aku rasa kamu harusmemikirkan ulang semua ini. Dan itu butuh waktu!”

Cakka ikut berdiri, dan ia tahu arahpembicaraan Shilla. Ia akan menerima segala sesuatu sebagai konsekuensi darisikapnya selama ini. Ia juga tak mau terus-terusan menyakiti Shilla kan?

“This is the end of this story,” kata Shillamantap. Cakka menunduk pasrah. Shilla berbalik untuk meninggalkan Cakka.Meninggalkan semua sakit hatinya.

“Shill!” kata Cakka. Shilla berhenti dan entahbujukan darimana ia berbalik lagi, menghadap Cakka. Cakka berjalan mendekat kearah Shilla, berdiri tepat dihadapannya. “Boleh aku memelukmu untuk yangterakhir?”

Shilla tak menjawab, ia hanya menunduk.Mengamati butiran pasir yang harus rela menyaksikan akhir dari hubungannya. Cakkamendekat lagi dan detik selanjutnya Shilla sudah berada dalam dekapan Cakka.

Shilla memejamkan mata, aliran bening ituakhirnya terbentuk di pipinya. Bahkan dekapan Cakka pun tak mampu meredamhatinya yang memberontak. Rasanya berjubel batuan besar terjejal di hatinya,memenuhi seluruh rongga hatinya. Menyesakkan. Ia mencintai Cakka, masihmencintai seseorang yang mendekapnya kini. Tapi apalah daya. Kenangansepertinya telah mengalahkan cinta yang ia tawarkan. Ah, ayolah Cakka! Lepaskandekapanmu! Ini hanya akan menambah kepiluan hati Shilla.

Shilla menarik diri dari dekapan Cakka,menunduk sebentar untuk menyusut air matanya. Ia memberanikan diri untukmendongak, menatap wajah Cakka yang kini tak terbaca. Ia mencoba untukmemberikan senyum, senyum yang sebenarnya begitu menyakitkan. Cukup dua detiksaja, ia lalu berbalik dan berjalan cepat meninggalkan tempat ini.

***

Lupakan aku

Kembali padanya

Aku bukan siapa-siapa untukmu

Kucintaimu

Tak berarti bahwa

Kuharus memilikimu slamanya

(D’masive-di antarakalian)

-THE END-