Tampilkan postingan dengan label csf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label csf. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Februari 2013

OURS [Song Fiction]

HAPPY 4 TH ANNIVERSARY CSF!! 14 FEBRUARI 2013


OURS

**Elevator buttons and morning air
Stranger's silence makes me wanna take the stairs

Pagi yang cerah. Burung-burung bernyanyi indah. Mentari tersenyum gembira. Shilla memulai langkahnya untuk hari ini. Seperti rutinitas biasanya. Sekolah. Dia telah memakai pakaian putih abu-abunya. Pintu apartemen orang tuanya berderit. Dia membuka pintunya. Hendak keluar menyongsong hari baru ini. Baru saja hendak keluar. Shilla dipanggil oleh sebuah suara.

“Shilla.”

Shilla segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Mamanya dan Shanin berdiri di belakangnya.

“Ya Ma,” jawabnya.

“Kamu perginya bareng Shanin dan Mama nggak boleh pergi sendiri lagi.”

“Tapi Ma---”

“Nggak pake tapi-tapian, kamu harus pergi sekolah bersama kita.”

Shilla mendengus kesal. Semenjak orang tuanya tahu. Dia sering di antar jemput "anak SMP" ke sekolahnya. Kemudian tahu kalau "anak SMP" itu adalah pacarnya. Orang tuanya makin protektif padanya. Shilla dimarahi habis-habisan waktu itu. Sampai sekarang pun gara-gara itu hubungannya dengan keluarganya jadi tidak enak. Orang tuanya menyuruhnya mengakhiri hubungannya dengan "anak SMP" itu. Tapi Shilla menolaknya. Menyebabkan setiap gerakannya semakin dikekang. Seperti pagi ini.

Shanin yang sudah mengenakan seragam putih birunya. Mamanya yang sudah siap dengan pakaian kantornya. Berjalan mendekati Shilla di depan pintu. Kemudian mereka bertiga keluar dari apartemen. Langkah sejajar mereka menggema sepanjang koridor. Mereka terus melangkah sampai di depan lift. Ketika lift itu terbuka mereka masuk ke dalam. Kemudian hening.

Shilla tak tahan dengan keadaan seperti ini. Shilla merasa orang asing di tengah keluarganya. Seharusnya Shilla merasakan kehangatan. Tidak pernah mudakah mereka? Yang tidak merasakan 'cinta tak memandang usia' seperti yang Shilla hadapi sekarang ini?
Shilla segera mengambil ponselnya dari dalam saku kemudian mengetikan SMS.

Maaf Kka :( aku ga bisa bareng lo hari ini :') kamu tau kan posisiku sekarang. But, I still love you.

Sent. Pesan itu terkirim. Shilla menunggu balasan. Tak beberapa menit kemudian. Hpnya bergetar.

Gpp Shil :) aku ngerti. I always love you

Shilla tersenyum pahit membaca SMS tersebut.

“Kamu nggak tahu apa itu cinta. Kamu dan dia masih kecil. Belum saatnya.”

Itu kata Mamanya. Membuat Shilla ingin lari dari situ. Lebih baik dia lewat tangga!

~~~

**If you were here, we'd laugh about their vacan stares
But right now, my time is theirs

Cakka menatap hpnya dengan tersenyum pahit. Sudah sedari tadi dia menunggu di parkiran apartemen Shilla. Dengan seragam putih birunya. Dia segera mengetik SMS balasan untuk Shilla. Dia tahu posisi Shilla sekarang ini. Sulit.
Awalnya, ketika dengan beraninya dia menembak Shilla. Dia tak pernah membayangkan. Karena 'perbedaannya' akan banyak yang merintangi kisah cinta mereka. Salahkah jika seorang lelaki putih biru menjalin hubungan dengan seorang gadis putih abu-abu? Cakka sering bertanya dalam hatinya.

Dia segera naik kembali di atas CBRnya. Memasukan hpnya ke dalam sakunya. Dia menatap apartemen Shilla. Menyaksikan gadis yang dicintainya keluar dari apartemen. Langsung menuju Ford yang terparkir beberapa meter di depannya. Dia hanya bisa menyaksikan kepergian pujaan hatinya itu.

Cakka segera menstarter CBRnya itu sebelum meninggalkan apartemen Shilla.
Tidak apa-apa begini. Walaupun Shilla sekarang jarang punya waktu untunya. Tapi dia akan tetap mencintai Shilla. Karena Shilla tetap bagian dari hidupnya.

~~~

**Seems like there's always someone who disapproves
They'll judge it like they know about me and you

“Tumben kamu nggak datang bareng anak SMP itu?” Tanya Angel teman sebangku Shilla melihat Shilla yang baru turun dari mobil mamanya.

“Anak SMP itu punya nama... Namanya Cakka!” Kata Shilla menegaskan.

“Ya pokoknya dialah. Kenapa Shil? Udah putus?” Tanya Angel.

“Aku nggak putus sama Cakka, kita akan terus bersama.” Kata Shilla.

Angel tertawa, “duh Shil, kayak di SMA ini nggak ada cowok yang lain. Masih banyak cowok ganteng kan di SMA ini? Nggak harus kamu pacaran dengan cowok yang masih pake putih biru begitu. Putih abu-abu lebih menarik.”

“Apapun! Aku tetap memilih Cakka. Kamu nggak tahu antara aku dan Cakka jadi jangan menilai sembarangan Angel.” Kata Shilla.

“Tapi semua orang berpikiran seperti itu. Kalau kalian jalan di mall atau dimana pun dengan seragam. Apa kamu nggak malu bermesraan? Mereka akan pikir kamu dan dia kakak beradik.”

“Aku nggak pernah memikirkan apa yang orang lain nilai tentang kami.”

“Kamu harus memikirkannya Shilla. Karena kamu hidup di dunia ini tidak hanya sendiri!”

Kenapa sih? Orang selalu hanya menilai dari satu sisi tentang hubungannya dengan Cakka? Kenapa? Toh yang merasakan mereka. Kenapa jadi orang lain yang menilai sembarangan?

~~~

** And the verdict comes from those with nothing else to do
The jury's out, but my choice is you.

Cakka segera memarkir CBRnya di tempat parkir sekolah. Dia menyimpan helm di bagasi CBRnya. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, dia sudah di sambut oleh seseorang.

“Selamat pagi Cakka.”

“Eh... Selamat pagi Oik.”

“Tumben nggak terlambat.”

Cakka hanya tersenyum tidak menjawab sambil melangkahkan kaki menuju kelasnya. Di kelas, dia sudah di sambut oleh kedua kawannya, Irsyad dan Obiet.

“Wetz bro, apa kabar?” Tanya Obiet.

“Not good!” Kata Cakka.

“Kenapa?” Tanya Obiet.

“Elah Biet paling gara-gara anak SMA itu. Siapa lagi?” Kata Irsyad.

“Aku heran ya sama kamu Kka, udah dikejar-kejar putri sekolah kayak Oik masih aja keukeh sama mbak-mbak itu.” Kata Obiet.

“Shilla bukan mbak-mbak!”

“Yaaa... Mbak dong dia kan lebih tua dari kita yoi nggak bro?” Tanya Obiet pada Irsyad.

“Yoi bro” katanya.

“Aku sudah memilih Shilla. Jadi apa pun yang kalian katakan. Nggak ngaruh tuh!” Kata Cakka sambil melangkah dan meletakkan tasnya di atas mejanya. Kemudian duduk dengan segala macam pikiran di dalam kepalanya.

~~~

**So don't you worry your pretty little mind
People throw rocks at things that shine

9 September 2009

Malam itu sunyi. Hanya terdengar sesekali kicauan burung. Terkadang suara motor satu-satu melintasi jalanan. Cakka dan Shilla sedang berjalan di sebuah trotoar. Mereka baru pulang dari tempat kursus vokalnya. Awal mula mereka bertemu. Di tempat kursus vokal itu. Semakin hari semakin dekat. Seperti malam ini. Cakka mengantar Shilla pulang dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak apartemen Shilla dengan tempat kursus vokal tidak terlalu jauh. Dingin pekat menembus tulang mereka. Tak mereka hiraukan. Kesunyian membungkus satu dengan yang lain. Tanpa ada suara menikmati malam itu.

“Kamu suka musik apa?” Tanya Shilla memecah keheningan.

“Aku suka musik blues.”

“Kenapa?”

“Suka aja, aku nyaman kalau dengar jenis musik itu. Kamu sendiri?”

“Aku suka musik rock.”

Cakka kaget. Tidak biasanya seorang perempuan suka musik seperti itu.

“Rock?”

Shilla mengangguk. “Iya.”

“Kok bisa seorang perempuan seperti kamu suka musik rock?”

Shilla mengangkat bahunya, “aku punya semangat kalau mendengar musik sejenis musiknya linkin' park gitu.”

“Kamu lucu. Beda sama anak perempuan lainnya.”

“Beda gimana maksud kamu?”

“Ya beda aja. Tapi itu yang membuat aku suka sama kamu.”

Oppss. Cakka keceplosan. Shilla memicingkan matanya ke arah Cakka. Berusaha meminta penjelasan dengan kata-kata yang baru meluncur dari mulut Cakka. Melalui kilatan matanya malam itu.
Cakka terlihat menghela napasnya.

“Shil.”

“Ya?”

“Aku ingin mengaku sama kamu. Kalau aku suka sama kamu. Tapi... Aku tahu perbedaan kita. Aku lebih muda dari kamu. Tapi aku sayang kamu. Mungkin ini terlalu lancang, tapi... Kamu... Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Tanya Cakka.

Langkah mereka terhenti. Shilla menatap Cakka. Di bawah lampu jalanan. Wajahnya nampak bersinar. Dia terlihat begitu bersungguh-sungguh saat menanyakan itu.

“Ya aku tahu orang akan beranggapan aneh. Karena perbedaan usia kita. Tapi aku---”

Perkataan Cakka di potong oleh Shilla dengan jadri telunjuknya yang bersarang di bibir Cakka.

“Ssssttt... Aku nggak mau dengar itu lagi. Karena... Aku mau jadi pacar kamu.” Kata Shilla sambil tersenyum.

Cakka surprise. Seakan tidak percaya. Keduanya berpelukan di trotoar malam itu. Menjadi malam penyatuan dua hati yang berbeda.

~~~

**And life makes love look hard
The stakes are high, the water's rough, but this love is ours

Shilla duduk di sebuah batu besar. Punggungnya bersandaran dengan punggung Cakka. Kala itu mereka masih mengenakan seragam mereka masing-masing. Putih abu-abu dan putih biru. Kenapa seragam itu selalu membuat mereka terlihat berbeda?
Tadi Shilla pulang sekolah segera menghindar dari jemputannya. Dia dan Cakka janjian di tempat biasanya. Sambil memandang siluet-siluet awan berarakan. Mereka menikmati siang itu.

“Memang salah ya Kka kalau kita saling jatuh cinta?” Tanya Shilla.

“Banyak yang bilang begitu, tapi aku tidak memikirkannya, yang terpenting itu kita yang tahu.”

“Ya... Memangnya ada larangan orang nggak boleh berpacaran kalau ceweknya lebih tua atau cowoknya lebih muda. Nggak kan?”

“Sudah nggak usah pikirkan, kita di sini kan untuk bersenang-senang, by the way aku kangen banget sama kamu. Can I hug you?” Kata Cakka sambil berbalik ke arah Shilla.

Shilla juga ikut berbalik. Kini mereka berdua berhadapan. Kemudian saling berpelukan. Melepas segala yang ada di hati mereka. Mungkin terlalu dini. Tapi cinta itu begitu kuat mereka rasakan.

~~~

**You never know what people have up their sleeves
Ghosts from your pas gonna jump out at me

Shilla bergegas memasuki sebuah mall. Hari ini pulang sekolah Shilla janjian bersama Cakka. Untuk nonton film di bioskop. Shilla tahu konsekuensinya kalau dia dan Cakka mengenakan seragam yang berbeda. Tapi, kalau tadi Shilla mengganti bajunya. Dia akan keduluan sopir mamanya yang menjemputnya. Makanya dia langsung naik taksi dan meluncur ke mall. Ramai sekali orang-orang yang ada di mall. Tadi mereka janjian untuk bertemu di depan KFC. Shilla kemudian melihat Cakka masih dengan seragam putih biru. Lambang osis kuning dan celana biru selutut. Dengan cepat Shilla mendekatinya.

“Sudah lama menunggu?” Tanya Shilla.

“Nggak kok. Tapi aku sudah pesan tiket tadi. Nih,” kata Cakka sambil menyerahkan selembar tiket untuk Shilla.

Shilla mengambilnya.

“Yuk,” Cakka mengulurkan tangannya ke arah Shilla. Shilla menyambutnya.

Kemudian mereka berjalan menyusuri mall itu sambil berpegangan tangan. Banyak yang melihat. Perbedaan terlalu signifikan diantara mereka. Membuat banyak yang berbisik-bisik ketika Cakka dan Shilla lewat di depan mereka. Tapi Cakka dan Shilla tidak menghiraukannya. Mereka segera menuju XXI untuk menonton.
Tiba di XXI mereka langsung memberikan tiket pada petugas dan masuk di studio untuk menonton.
Film di mulai. Cakka dan Shilla sibuk dengan tontonannya. Sekitar dua jam lebih film itu berlangsung. Akhirnya selesai. Cakka dan Shilla segera keluar dari studio tersebut sambil erat bergandengan tangan.

“Cakka.” Suara sang perempuan.

“Shilla.” Suara sang lelaki.

Spontan membuat Cakka dan Shilla menoleh ke arah sepasang manusia yang berdiri di depan mereka.

“Acha!” Suara Cakka.

“Alvin!” Suara Shilla.

“Tunggu... Tunggu kenapa saling kenal begini ya?” Tanya Alvin heran.

“Ini pacar kamu Vin?” Tanya Shilla pada lelaki yang bernama Alvin.

“Bukan Shil, adik aku baru datang dari Yogyakarta, namanya Acha, kenalan dulu.”

“Acha.”

“Shilla.”

“Kok aku nggak tahu ya kalau Cakka punya kakak yang namanya Shilla.” Kata Acha heran.

“Shilla bukan kakakku Cha,” kata Cakka.

“Trus?”

“Shilla pacarku.”

Pengakuan Cakka berhasil membuat Alvin dan Acha saling menatap. Bagaimana bisa?

~~~

**Lurking in the shadows with their lip gloss smiles
But I don't care 'cause right now you're mine

“Kka, kamu yakin mau ngajakin aku ke pesta ulang tahun teman kamu? Aku nggak ganggu gitu?” Tanya Shilla.

“Yakin, tapi sebenarnya yang aku takutkan jangan-jangan mama kamu memarahimu ketika tahu kamu pergi bersamaku,” kata Cakka.

“Aku sudah bilang aku pergi bersama Angel. Angel sih mau membantu. Cuma semoga saja di pestanya tidak ada temannya Shanin sehingga aku aman.”

Cakka mengenggam tangan Shilla, “maaf ya, aku buat kamu tambah bermasalah.”

“Enggak! Kamu sama sekali bukan masalah bagiku.”

Cakka dan Shilla saling tersenyum. Shilla kemudian dengan gaun kremnya naik ke atas CBR Cakka. Rambutnya yang tergerai indah. Melambai-lambai oleh tiupan angin. Shilla mengeratkan pelukannya pada Cakka. Sebelum Cakka memacu CBRnya lebih cepat lagi.

Tiba di pesta. Cakka dan Shilla segera berjalan menyalami yang berhari ulang tahun. Ketika Cakka dan Shilla berjalan ke arah Oik. Dua teman Cakka saling berbisik.

“Cakka berani banget bawa mbak-mbaknya kemari sudah tahu ini pesta Oik. Dia kan cinta mati pada Cakka, mau cari masalah?” Kata Irsyad.

“Kalau gue jadi Cakka, gue bakalan pilih Oik. Gila men, Oik lebih sepadan. Sama Shilla yang ketuaan yang benar saja?”

Oik berdiri menatap Cakka dan Shilla yang berjalan ke arahnya. Lip gloss tipisnya di bibirnya menyala. Sinaran senyumnya terasa berbeda. Senyum mengejek.

“Selamat ulang tahun ya, Oik,” kata Cakka menyalami Oik dan memberikan hadiah untuk Oik.

“Terima kasih,” Oik menerima hadiah dari Cakka.

Shilla menyalami Oik. Oik membalas uluran tangannya dengan terpaksa. Setelah itu mereka kembali duduk di tempat duduk menunggu perayaan pesta itu.

Tibalah saatnya pemotongan kue ulang tahun. Oik bersiap. Setelah meniup lilin Oik mulai memotong kuenya. Dia memberikan kue pertamanya pada Cakka. Tanpa memedulikan Shilla. Padahal sudah jelas-jelas Shilla di sana bersama Cakka menggandeng tangannya. Cakka menatap Shilla yang tersenyum pahit ke arahnya. Kemudian melepaskan tangannya yang melingkari lengan Cakka. Oik segera menarik Cakka di dekat kue ulang tahunnya. Meninggalkan Shilla di situ. Cakka dengan terpaksa mengikuti Oik.
Rasa sesak di dalam hati Shilla membuatnya ingin keluar dari situ.

~~~

**And you'll say don't you worry your pretty little mind
People throw rocks at things that shine
And life makes love look hard
The stakes are high, the water's rough, but this love is ours

Shilla menyenandungkan refrain lagu "ours" milik Taylor Swift. Dia sedang berjalan kaki di atas trotoar. Dia lari dari pesta tadi. Dipikirnya bodoh juga dan terlalu kekanak-kanakan. Tapi dia cemburu! Cakka harus tahu kalau dia cemburu!

“Jangan kekanak-kanakan begitu deh Shil, sebenarnya yang tua kamu atau aku?” Sebuah suara di iringi suara CBR yang mendekat.

“Apaan siapa yang nggak cemburu pacarnya digituin di depan mata kepalanya sendiri.” Kata Shilla sambil berkacak pinggang.

“Iya sih, aku minta maaf kalau begitu.”

“Aku sudah cukup sabar Kka selama ini, aku tahu banget kita nggak pantas. Mungkin kamu memang lebih cocok sama Oik,” kata Shilla.

Cakka segera memarkir CBRnya dan langsung turun menghampiri Shilla. Dia segera memeluk gadisnya itu.

“Sssstt jangan berkata seperti itu. Hindari segala pikiran-pikiran yang nggak-nggak. Aku di sini hanya untuk kamu dan selalu untuk kamu. Aku nggak menerima kuenya Oik kok. Aku nyusul kamu di sini.”

“Beneran?”

Cakka melepaskan tangannya kemudian membingkau wajah Shilla.

“Bener. Aku sayang kamu.”

“Aku juga sayang kamu Kka.”

Keduanya saling berpelukan.

“Gimana kalau malam ini untuk menebus semuanya, aku ajak kamu ke suatu tempat.”

“Kemana Kka?” Tanya Shilla penasaran.

“Ada deh.”

Cakka segera menarik Shilla naik CBRnya. Kemudian melajukan CBR itu menyusuri jalan raya. Menuju ke sebuah tempat.

~~~

**And it's not theirs to speculate if it's wrong and
Your hands are tough but they are where mine belong in
I'll fight their doubt and give your faith with this song for you

Cakka ternyata mengajak Shilla ke sebuah gedung tua. Dari atas mereka bisa melihat kilatan lampu yang menerangi kota Jakarta malam itu. Cakka mengenggam tangan Shilla erat. Mereka larut dalam kepekatan kesunyian malam. Merasakan waktu ini milik mereka berdua.

“Kenapa orang suka sekali menerka-nerka tentang hubungan kita? Padahal hubungan ini kita yang menjalani bukan?” Tanya Shilla.

“Biasanya orang hanya menilai dari luar saja, mereka tak tahu apa yang ada di dalam.”

Shilla memeluk Cakka. Air matanya tiba-tiba luruh di pipinya, “aku nggak mau kamu meninggalkan aku Kka, aku sayang sama kamu.”

“Aku pun tak mau itu terjadi. Karena kita berdua sudah saling memiliki.”

Kembali keheningan membungkus mereka. Shilla menyenandungkan lagu Ours milik Taylor Swift kembali. Liriknya sepertinya menguatkannya. Apapun yang terjadi ini adalah pilihan mereka. Orang boleh berkata apa tentang hubungan mereka. Tentang Cakka yang lebih muda dari Shilla. Ataupun tentang Shilla yang lebih tua dari Cakka apapun itu. Tapi mereka saling memiliki.
Malam itu menjadi memori yang indah untuk mereka di antara.

Hanya ada Cakka dan Shilla...

~~~

**'Cause I love the gap between your teeth
And I love the riddles that you speak
And any snide remaks from my father about your tattoos
Will be ignored
'Cause my heart is yours

“Shil, main tebak-tebakan yuk,” ajak Cakka yang kepalanya sedang tiduran di atas paha Shilla.

Mereka saat itu sedang berada di sebuah taman. Hanya mereka berdua di situ. Kali ini mereka tidak mengenakan seragam sekolah mereka. Terlihat normal saja. Mereka seperti pasangan biasa. Apa yang berbeda dengan pasangan yang lain.

“Boleh, kamu duluan.”

“Apa yang hanya dimiliki satu orang di dunia ini?”

“Apa yah?” Shilla tampak berpikir. Semua benda-benda di dunia ini sepertinya rasanya punya kloning. Apa yang hanya dimiliki satu orang di dunia ini? Shilla kebingungan.

“Apa hayo?”

“Nyerah deh nyerah!” Akhirnya Shilla menyerah setelah proses pemikiran yang sangat panjang.

“Mau tahu?”

“Mau banget lah!”

“Hati aku. Karena hanya dimiliki oleh Shilla seorang.”

“Ah! Kamu bisa aja gombalnya.”

“Nggak gombal. Aku jujur. Hatiku hanya milikmu.”

Pipi Shilla tiba-tiba bersemu merah. Entah apa yang harus di katakan Shilla selanjutnya.

“Shil.” Panggil Cakka.

“Ya?” Shilla menoleh ke arah Cakka.

Tanpa di duga Shilla dihadiahi kecupan lembut oleh Cakka di bibirnya. Itu ciuman pertama... Selama mereka berpacaran.

“Sorry, kalau aku lancang.” Kata Cakka salah tingkah sambil menggaruk kepalanya.

Shilla malah tersenyum malu-malu. “Itu yang pertama buatku.”

“Serius?”

Shilla mengangguk malu-malu lagi. Cakka memberikan pelukannya. “Maaf.”

“Kok minta maaf?” Tanya Shilla melepaskan pelukan Cakka.

“Yaaa... Karena... Karena...”

Belum sempat Cakka melanjutkan perkataannya. Kali ini Shilla yang menghadiahi kecupan hangat di bibir Cakka. Ia kaget. Tapi kemudian Cakka membingkai kepala Shilla. Mencoba lebih dalam lagi. Mereka pun larut dalam ciuman hangat malam itu.

***

“Kamu yakin Kka mau nganterin aku pulang?” Tanya Shilla.

“Yakin.”

“Tapi kamu tahu kan situasi aku sama keluargaku kayak apa sekarang? Aku takutnya kamu malah dimarahin Mama atau Papa aku.”

“Tapi aku akan lebih dimarahin kalau aku mengajak putrinya keluar dan membiarkan putrinya itu pulang sendirian tanpa di antar. Bahaya Shil, udah malam kamu cewek.” Kata Cakka.

Shilla tersenyum kemudian mengangguk, “yaudah deh.”

Shilla segera naik ke atas CBR Cakka. Melingkarkan tangannya di pinggang Cakka. Sebelum CBR itu melaju menuju apartemen Shilla. Beberapa menit kemudian mereka telah tiba di depan apartemen Shilla. Shilla segera turun.

“Makasih ya Kka.”

“Sama-sama. Mau ku antar masuk?” Tanya Cakka.

“Nggak deh Kka. Makasih, nanti aku nggak mau kamu kena marah.”

“Yaudah. Hati-hati ya.”

“Kamu juga hati-hati. Jangan ngebut bawa motornya.”

“Iya pasti. Aku pulang dulu.”

Cakka kemudian menarik kepala Shilla kemudian mengecup dahinya.

“Shilla!”

Suara itu mengagetkan Cakka dan Shilla. Cakka segera mengakhiri kecupannya itu.

“Papa.” Kata Shilla dengan suara bergetar.

“Siapa itu? Pacar kamu?” Tanya Papanya.

Shilla mengangguk, “iya pa.”

“Yang kata Mama kamu anak SMP?”

Shilla mengangguk lagi.

“Masuk!” Bentak Papa Shilla.

“Aku masuk dulu ya Kka.”

Cakka mengangguk.

“Masih kecil juga kalian! Pacar-pacaran!” Kata Papa Shilla kemudian menarik Shilla masuk ke dalam apartemen.

~~~

**So don't you worry pretty little mind
People throw rocks at things that shine
And life makes love work hard
But they can't tak what's ours

“Apa Kka? Ke Yogyakarta?” Shilla kaget mendengar berita dari Cakka.

“Iya Shil, kan aku sudah lulus SMP. Dan orang tuaku menyuruhku untuk sekolah di Yogyakarta.” Kata Cakka.

Mata Shilla berkaca-kaca, “tapi Kka, selama ini yang aku tunggu. Saat dimana kamu dan aku tidak dibedakan dengan warna seragam lagi. Kita sama-sama mengenakan putih abu-abu. Kenapa kamu harus pergi?” Tanya Shilla air matanya sudah luruh di pipinya.

Cakka segera menenggelamkan Shilla ke dalam pelukannya, “ini bukan kemauanku. Aku juga mau tetap di sini, tapi orang tuaku yang menyuruhku. Kita masih tetap bisa berhubungan walaupun jarak jauh.” Kata Cakka.

“Tapi akan beda Kka, aku bakalan kangen banget sama kamu. Aku bakalan merindukan kamu. Dan kita berdua akan tersiksa oleh jarak.”

“Aku tahu itu.”

Keduanya pun terdiam. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Cakka kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

“Dia kemudian mengenakannya di tangan Shilla. Sebuah gelang dengan inisial CSF.”

“CSF? Cakka Shilla...?” Tanya Shilla memperhatikan gelang yang ada di tangannya.

“Cakka Shilla Forever.” Kata Cakka.

Shilla tersenyum ditengah air mata yang masih mengalir di pipinya. Cakka menghapus air mata Shilla dengan jemarinya.

“Jangan menangis lagi yah. Kita pasti dipertemukan kembali.”

Dengan berat Shilla menghela napasnya kemudian menghembuskannya, “begini saja Kka. Kita nggak usah berhubungan lagi ya setelah ini.”

“Kenapa begitu?” Tanya Cakka dengan tatapan yang miris.

“Aku mau. Jika cinta ini memang milik kita. Kita pasti dipertemukan oleh takdir lagi. Kita hidup masing-masing. Hidup memang membuat cinta itu berat. Tapi apapun itu, kalau kita memang jodoh pasti akan dipertemukan. Aku tak mau kita tersiksa setiap hari. Kamu di sana fokus untuk belajar aja Kka. Aku nggak mau gara-gara hubungan kita ini kamu malah nggak fokus belajar. Aku tunggu kamu datang ke kehidupanku lagi.” Kata Shilla.

Cakka menutup matanya. Meresapi segala perkataan Shilla sebelum dia mengangguk, “ya.”

Shilla tersenyum, “gelang ini akan tetap ada di tanganku sampai kapan pun.” Kata Shilla.

“Can I kiss you last?” Tanya Cakka.

Shilla mengangguk. Kemudian Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla. Sebelum terjadi pertautan di bibir mereka. Mungkin itu akan menjadi ciuman terakhir mereka.

~~~

**They can't take what's ours
The stakes high, the water's rough
But this love is OURS!

14 Februari 2019

Hall bergemuruh...
Ini konser ke 99 Shilla selama 8 tahun menjalani kariernya sebagai seorang penyanyi. Riuh penonton meneriakkan nama Shilla. Gadis berambut ikal dengan gitar putihnya sedang berada di tengah-tengah panggung. Dengan stand mike-nya duduk di atas sebuah kursi.

“Baiklah semua ini lagu terakhir dari Shilla, dia akan mengcover sebuah lagu milik musisi dunia. Tapi sebelumnya kita akan sedikit berbincang-bincang dulu dengan Shilla. Katanya, awal Shilla suka dengan musik dia suka jenis musik rock! Waw! Gimana itu Shilla?”

Shilla tertawa, “hahaha, iya aku memang dulu suka musik rock, sampai sekarang pun suka.”

“Tapi kebayang nggak sih seorang cewek cantik dan feminim seperti Shilla suka musik rock? Waw gimana kalau seandainya Shilla jadi penyanyi rock?”

“Aku sadar kok aku nggak punya suara jenis rock.”

“Oh ya, ngomong-ngomong. Dari awal Shilla masuk ke dunia musik. Dia nggak pernah lepas gelang yang ada di tangannya. Kira-kira kenapa ya? Gelangnya sangat berharga ya? Cieee siapa yang ngasih?”

“Gelang ini sangat berhubungan dengan lagu yang aku akan nyanyikan. Gelang ini pemberian seseorang yang berharga di dalam hidupku. Dia yang mengajarkan betapa keras cinta itu mesti diperjuangkan meski punya perbedaan. Dia yang mengajarkan aku tetap bersabar. Pokoknya lagu selanjutnya ini untuknya.”

“Oke, baiklah... Ini lagu terakhir dari Shilla. Ours!” Kata sang MC kemudian meninggalkan panggung.

Shilla segera memetik gitarnya. Dengan penuh perasaan dia bernyanyi. Dengan penuh penghayatan dia seperti bertutur cerita. Semuanya terlarut dalam alunan suara indah Shilla menyanyikan lirik demi lirik lagu tersebut. Shilla menghipnotis penggemarnya. Banyak yang ikut bernyanyi bersamanya.

Hanya seseorang yang berdiri di sudut belakang ruangan menonton sejak tadi. Lelaki dengan jas dan dasi yang rapi. Dia tersenyum kecil. Shillanya masih Shilla yang dulu.

Shilla menyelesaikan lagunya. Matanya terantuk pada sosok lelaki dengan pakaian formal di sudut ruangan. Dia memicingkan matanya. Dia seperti mengenal orang itu. Lelaki itu terlihat beranjak. Shilla segera berterima kasih dan turun dari panggung.

Shilla hendak mengejar lelaki itu. Gitar putihnya masih berada di dalam tas di belakangnya. Dia yakin apa yang di lihatnya. Itu sosok yang di rindukannya.
Shilla berputar-putar di studio salah satu stasiun televisi yang menayangkan konsernya ini. Tapi sudah semua sudut yang di telusurinya tak ada tanda-tanda lelaki itu muncul.
Shilla mulai hopeless dengan berjalan lemah dia pergi ke area air mancur yang ada di depan studio tersebut. Padahal dia yakin tadi itu...

“Makasih sudah menyanyikan lagu itu untukku,” kata sebuah suara membuat Shilla kaget dan segera berbalik ke arah sumber suara tersebut.

“Dan makasih masih memakai gelang itu.”

“Cakka.”

Kaget Shilla melihat Cakka di belakangnya. Cakka bukan dengan seragam putih biru lagi. Tapi dengan setelan jas, kemeja dan dasi yang rapi. Dia telah bermetamorfosa menjadi Cakka seorang elegible bachelor. Menjadi pengusaha muda yang digandrungi banyak wanita. Shilla tahu itu. Tapi sampai saat itu takdir belum mempertemukan mereka. Sampai saat ini...

“Selamat atas konser ke sembilan pulu sembilanmu.”

“Makasih. Selamat juga kamu sudah menjadi most wanted men in the world.”

“Hahaha. Kamu berlebihan.”

“Kata ayahku seperti itu. Bahkan dia kalah sama kamu.”

“Tapi aku kalah denganmu.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena sekuat apapun aku mencoba melupakanmu. Hatiku tetap kalah. Sudah terpampang nama Shilla di sana.”

“Jadi?”

“Jadi aku tetap mencintaimu, dulu sekarang bahkan selama-lamanya.” Kata Cakka kemudian membuka kedua tangannya.

Shilla segera menghambur ke pelukan Cakka. “Jangan pergi lagi.”

“Aku akan tetap di sini, karena cinta ini milik kita. Nggak ada seorang pun yang bisa menghalangi kita.” Kata Cakka.

“Well, memang sudah nggak ada. Kamu kan udah nggak pake putih biru lagi. Dan kamu tahu betapa Papaku memaksaku untuk menemuimu lagi. Agar kalau aku sama kamu perusahaan kamu dan dia bisa bekerja sama. Tapi aku nggak mau.”

“Jadi orang tua kamu sudah setuju?”

Shilla mengangguk.

“Jadi mereka tinggal menunggu aku dan kamu menjadi kita.” Kata Cakka.

“Maksud kamu?” Shilla mengernyit lalu melepaskan pelukannya dari Cakka.

“Karena hari ini aku mau kamu jadi isteriku.” Kata Cakka segera memasangkan cincin di jari manis Shilla.

Air mata Shilla luruh. Bukan kesedihan. Tapi air mata kebahagiaan. Kini tambatan hatinya telah kembali. Meyakinkan bahwa cinta adalah milik mereka.

“Cakka Shilla Forever!” Kata mereka bersama.

Kemudian mereka berpelukan. Diantara desiran air terjun. Hari itu menjadi saksi tautan cinta mereka.

**The End**

Jumat, 18 Maret 2011

Beda (cerpen)

Sebenarnya, dalam hati aku ingin terus menyangkal kenyataan itu. Menyangkal fakta yang baru saja aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku meninju bangku yang ku duduki dengan kepalan tanganku. Cukup membuat tanganku sakit. Tapi cukup meluapkan rasa emosiku, walau hanya sedikit. Aku menghembuskan nafas secara kasar. Ahhh! Aku mengambil batu dari kolong bangku -yang entah mengapa ternyata banyak sekali batu-batu kecil, dan melemparkannya ke danau yang berada di depanku. Berusaha membuang rasa penat dan sakit itu. Tapi naas, gagal.

Ku ingin bertanya
Sungguhkah kau sayang aku?

Aku kembali duduk di bangku. Percuma, sebanyak apapun aku melempar batu tak akan membuat rasa sakit ini menghilang. Aku menutup wajah menggunakan kedua telapak tanganku. Membiarkan air mataku tumpah di baliknya. Setidaknya dengan begini tak ada yang melihat aku sedang menangis.
Tadi, ngapain sih, kamu berduaan di café sambil suap-suapan gitu? Ngapain sih, kamu mengusap bibir cewek itu? Ngapain sih, kamu ketawa bareng cewek itu? Ngapain sih, kamu mengusap poni cewek itu?
Bukannya itu semua cuma kamu lakuin buat aku? Bukannya cuma aku? Oh…ternyata enggak ya.
Berarti…kau membohongiku. Tadi pagi, waktu aku meminta kau untuk mengantar aku ke toko buku, kau bilang, mau mengantar Kak Zevana ke Supermarket. Ternyata? Memangnya, Kak Zevana bisa berubah wujud ya? Dan gak jadi ke supermarket, jadinya ke café? Café yang jadi saksi bisu kita berdua? Di tempat favorit kita berdua, lagi.
Aku menggelengkan kepala. Bersuaha sekuat tenaga untuk menyangkal semua prasangka buruk tentangmu. Aku berusaha berpikir positif. Kau tak mungkin setega itu, kan, sama aku?

*

“Kamu kok gelisah banget sih?” aku langsung bertanya begitu, ketika kau berulang kali mengecek jam tangan yang melingkar gagah di pergelangan tangan kirimu.
Kau menatapku, lalu menggeleng kecil, “Ah, gak apa-apa.” Elakmu. Lalu kembali menekuni Tiramissu kesukaanmu. Sayang, sekecil apapun kau berbohong padaku, aku tetap bisa mengetahuinya. Membacanya melalui bola matamu.
“Bener?” tanyaku lagi, berharap kali ini kau akan jujur padaku.
Kau kembali menatapku lalu tersenyum kecil. Senyum yang selalu terbawa ke dalam mimpi indahku. “Serius. Ayok lanjutin makannya, macaroni kamu masih banyak, tuh. Katanya, tadi laper.”
“Kenyang.” Sahutku datar. Sedikit kesal. Aku tahu. Tapi aku sangat tidak mau kalau apa yang aku pikirkan memang benar. Bibirku sedikit dikerucutkan.
“Lho, sekarang kamu yang kenapa?” kau balik bertanya kepadaku, menaruh sendok kecil di atas piring tiramissu mu.
Aku menggeleng, “Nggak kok. Udah lanjutin. Aku laper lagi.” Lalu aku memotong asal macaroni ku dengan kesal. Sabar Shil…
Hening
Kau sibuk dengan Hot cappuccino mu, sedangkan aku masih mengunyah macaroniku dengan kesal. Hanya dentingan suara sendok, garpu, atau pisau yang beradu dengan piring atau cangkir yang terdengar. Ah! Ini sudah ke 7 kalinya kau melirik jam tanganmu, semenjak terakhir kali kita berbicara. Kau janjian dengannya?
“Abis dari sini mau kemana?” tanyamu, setelah aku menghirup Jus starwabeery ku sekaligus, sampai habis.
“Terserah. Aku masih kangen sama kamu.” Jawabku, sedikit manja. Kau tersenyum, lalu mengacak pelan poniku. Sudah 2 minggu kita tidak bertemu. Rasanya ada batu besar yang mengganjal di hatiku, dan hanya mampu menghilang ketika aku melihat senyumanmu untukku.
“Aku juga kangen sama kamu.” Balasmu seraya tersenyum. “Ke toko buku, mau? Katanya kemarin mau beli buku? Maaf ya, aku gak jadi nganterin?”
Aku mengangguk malas, tapi tetap tersenyum, setidaknya hari ini bukan untuk beradu mulut dan ego denganmu. Hari ini untuk melepas rindu denganmu.
Lalu, setelah kau memanggil pelayan dan membayar semuanya, kita bangkit dan beriringan berjalan menuju Toko buku yang letaknya berada satu lantai di atas tempat café yang baru saja kita tinggali. Dalam hitungan detik, jemarimu sudah merengkuh jemariku. Membuatku selalu nyaman dan terjaga.

*

“Makasih yah, buat hari ini.” Kataku, setelah turun dari motormu. Kini, aku berdiri di sisi kiri motormu.
Kau membuka helm fullface mu, mengangguk lalu tersenyum, “Aku juga, makasih yah.” Sahutmu, lalu mendekatkan bibirmu ke arah telingaku, membisikkan tiga kata yang selalu membuat darahku berdesir hebat, “Aku sayang kamu.” Lalu kau mengecup pipiku. Aku yakin, sekarang, rona wajahku sudah semerah tomat. Uhm..bahkan semerah cabai. Aku hanya mengangguk canggung. Aku rindu hal ini.
“Aku pulang, ya? Salam buat orang tua kamu sama Kak Kiki.” Pamitmu akhirnya, lalu memakai helm fullface mu kembali. Aku mengangguk, dengan rona wajah yang belum kembali. Kau tersenyum, mulai menyalakan mesin motor kembali. Dalam hitungan detik, motormu sudah tidak nampak. Di hadapanku kini hanya jalanan perumahan yang kosong.

Kadang aku pun meragu
Engkau tampak beda, tak seperti dulu

Sebenarnya tak ada perbedaan yang begitu nyata Hanya saja, aku merasa setiap kali kau menatapku, dalam bola matamu tak mengandung apapun. Maksudku, bukan tatapan matamu yang mampu mencairkan lapisan es yang membeku di hatiku. Bukan sorotan seperti biasanya yang terpancar dari sana. Aku menarik nafas dalam-dalam. Berdoa dalam hati kalau itu hanya perasaan burukku. Aku lalu berjalan memasuki pekarangan rumahku. Seraya terus menahan air mata yang entah mengapa menyeruak untuk mengaliri pipiku.

*

Aku hanya mampu duduk di sudut café. Menyembunyikan wajahku di balik masalah Girlfriend edisi terbaru. Semoga majalah ini tidak terbalik. Mataku terfokuskan pada 1 titik. 1 meja. Dan 2 manusia. Aku melihat kau. Tepatnya, aku sedang mengintip kau. Kau duduk di sebrang sudut yang berlawanan denganku
Wanita yang duduk di depanmu itu sedang menutup mulutnya, berusaha meredam tawa karena -sepertinya- lelucon yang kau buat. Sementara kau sendiri tertawa lepas. Walau tidak kencang.
Dibalut dress bermotif bunga-bunga kecil berwarna kuning susu, dan selop highheels, sekitar 3 cm, membuat wanita itu tampak manis. Sangat manis. Bahkan, cantik. Rambutnya yang ikal di bawah, ia ikat setengah ke belakang, di jepit menggunakan jepit yang berhiaskan pita berwarna merah. Penampilannya memang sangat berbanding terbalik denganku. Aku memperhatikan tubuhku, -masih dalam keadaan duduk- aku hanya memakai kemeja, celana jeans, dan sepatu flat.
Sepertinya memang itu yang kau suka darinya. Mungkin karena aku tak berpenampilan seperti dia, kau berpaling dariku?
Selanjutnya, aku mulai melihat kau mengusap ubun-ubun wanita itu. Rasanya saat ini juga aku ingin mendatangi mejamu dan menggebraknya. Aku sangat tidak rela. Panas menjalari dadaku. Titik air mata mulai di produksi oleh mataku. Rasanya sakit sekali. Aku menyesal mengapa aku pergi ke café ini? Menyesal, mengapa aku harus menguntitmu?
Aku membiarkan air mata mengalir di pipiku. meningglakan jejak-jejaknya. Membawa setiap perih yang semakin aku rasakan. Aku harap air mata itu akan membawa perih itu pergi. Aku yakin, majalah yang sedari tadi ku pegang untuk menutupi wajahku bergetar hebat.
Aku ingin kamu yang menghapus jejak air mata ini……

*

Mungkin waktu, yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikah diriku dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini…………


“Hari ini kamu kemana?” tanyaku, setelah kita berbincang mengenai sekolah kami masing-masing. Dapat kudengar dari ujung telepon bahwa kau menghela nafas.
“Pergi nganter Iley beli cat air.” Jawabmu. Menjadikan adikmu yang berbakat dalam hal melukis, menjadi kambing hitam. Kali ini aku yang menghela nafas berat.
“Kka…”
“Ya, Shil?” sahutmu. Aku meringkuk di sudut kamar. Tepatnya di belakang pintu kamarku. Memeluk boneka bebek pemberianmu saat bulan lalu, hari jadi kita yang ke 14 bulan.
“Kamu suka gak sama penampilan aku?” kataku, menggigit ujung boneka itu.
“Maksudnya?”
“Ya…gitu. Maksud aku, kamu takutnya selama ini kamu gak suka sama style aku yang santai banget. Takutnya kamu suka sama yang pa….”
“Aku suka kamu. Kamu yang apa adanya.” Putusmu tiba-tiba. Entah mengapa ucapanmu tadi sukses membuat bening hangat menganak sungai di kedua pipiku. Sejak kapan kau suka berbohong kepadaku?
“Kamu nangis?” gawat, sepertinya isakanku terdengar olehnya. Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Ah…enggak…a..aku lagi flu.” Jawabku beralasan. Untung masuk akal.
“Jangan bohong sama aku.” Katamu. Kamu yang bohongin aku…
“Nggak kok. Aku emang beneran lagi flu. Cuaca lagi gak enak banget.” Cicitku, seraya mengusap pipiku, menyeka jejak bening hangat disana.
“Udah minum obat? Jaga kesehatan ya, Shil.” Nada suaramu begitu lembut. Sifatmu yang perhatian tak pernah hilang. Membuatku melupakan sejenak tentang masalah di café siang tadi.
“Udah kok. Kamu juga jaga kesehatan ya.” Balasku. Setidaknya aku tidak berbohong. Aku memang sedang terserang gejala flu, dan aku memang sudah minum obat pereda gejala flu.
“Aku kangen kamu.” Lirihmu tiba-tiba. Tatapanku kosong, memkirkan kita. Sekolah kita yang berbeda. Kita yang disibukkan dengan berbagai aktifitas sekolah. Membuat kita terkadang susah untuk bertemu. Apalagi akhir-akhir ini.
“Aku juga kangen kamu.” Balasku. Menggenggam ponselku kuat-kuat. Aku ingin kau berada di sisiku, menjadikan bahumu untuk tempatku melepas rindu kepadamu.
“Besok aku jemput kamu, ya? Besok sabtu, kan? Kita jalan.”
“Oke.” Jawabku bersemangat.
“Sekarang kamu tidur yah. Udah malem.”
“Kamu juga tidur sekarang.”
“Iyaaaa….. aku sayang kamu. Malam Shillaku.”
“Aku juga sayang kamu.. malam juga Cakkaku”

Klik.
Sambungan telepon pun terputus. Aku mendekap ponselku. Berharap ponsel ini akan berubah wujud menjadi kau. Aku merindukan kau yang selalu berkata jujur kepadaku. Aku rindu kau yang membuat malam-malamku dipenuhi oleh deraian tawa. Aku rindu kau.
Terhitung telah 3 minggu kau mulai berubah. Semenjak pertemuan kita yang kurang intensif. Akibat aku yang sibuk dengan jabatanku sebagai sekretaris MPK. Apa semenjak itu kau mulai mengenal gadis itu?
Sampai kapan kau akan terus membohongi aku?

*

Ku tak pernah berfikir
Ada yang lain di hatimu
Tapi bila, begitu adanya
Jangan kau membisu
Ungkapkan padaku

Akhirnya dengan susah payah aku selesai membuat rambut lurusku menjadi ikal. Ikal di bawah apa itu namanya? Keriting gantung? Butuh waktu 2 jam untuk membuat rambutku seperti ini.
Setelah itu, aku mengganti bajuku. Menggunakan dress polos berwarna pink lembut dengan hiasan pita di belakangnya, -yang ku dapat setelah aku mengubek isi lemari Mba Sivia, sepupuku yang tinggal di rumahku.
Aku berputar. Memperhatikan penampilanku yang sangat-sangat berbeda ini. Aku terlihat lebih anggun. Sebenarnya ini bukan aku sama sekali. Tapi mungkin kau akan lebih suka jika aku seperti ini.
Aku melirik jam tangan Monol yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. 10 menit lagi….dari waktu yang kau sendiri janjikan untuk menjemputku. Aku menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuhku. Tidak terlalu banyak. Cukup.
Dengan tergesa-gesa aku menuruni tangga, menuju ruang TV, dimana aku telah menyiapkan sepatu highheels -yang lagi-lagi kudapat dari kamar Mba Sivia. Sedikit keteteran saat aku mencoba berjalan menggunakan sepatu itu. Aduh, aku cewek tulen, kan?
Kak Kiki, Mamah, dan Papah hanya menggelengkan kepala melihatku berulang kali terjatuh akibat high heels itu. Demi kau, aku berulang kali terjatuh, agar aku terbiasa memakai sepatu ini. Demi kau.
Aku duduk di sofa depan TV, seraya memutar-mutar channel. Sudah telat 3 jam. Tidak biasanya. Rambutku yang kubuat ikal sudah kembali ke posisinya semula. Lurus. Kau kemana? Aku lelah menunggumu. Sekarang, sudah jam 9.30 malam. Kalau saja hari ini jadi, hari ini adalah dinner bersama kita yang ke 3.
Aku sengaja tidak menghubungimu. Aku ingin tahu, seberapa ingat sih, kau dengan janjimu sendiri? Dulu, kau selalu ingat hal sekecil apapun tentang kita, lho.
Kak Kiki, Mamah, dan Papah sudah masuk ke kamar. Mereka menasihatiku agar aku juga sebaiknya tidur. Setidaknya, agar aku berselimut. Mengingat dressku yang tidak ber’lengan’. Aku tidak mempedulikan nasihat mereka. Aku masih terus duduk. Menunggu kau. Aku yakin kau akan datang. Setelat apapun itu.
Hoaaahm…ngantuk. Tiba-tiba ponselku berdering. Membuatku sedikit tersentak. Terdengar ringtone yang hanya aku pasang jika kau yang menelepon aku. Dengan malas, tapi sangat senang, aku mengangkatnya.
“Apa?” kataku langsung. Nadaku datar.
“Aku di depan rumah kamu Shil, mau mencet bell takut ngebangunin orang-orang.” Sahutmu. Aku kaget. Segera saja aku berlari mendekati pintu rumah. Benar saja, aku mengintip melalui gorden, kau berdiri di depan gerbangku.
“Iya aku ke luar.” Kataku yang langsung mematikan dan menaruh ponselku ke meja yang berada di ruang tamu. Membuka pintu rumah, dan berjalan mendekati kau. Aku membuka gerbang, membiakan kau masuk. Lalu berjalan menuju teras. Kau mengikuti dari belakang.
“Maaf.” Katamu, setelah duduk di kursi sebelahku.
“Maaf buat apa?” tanyaku pura-pura heran. Mataku menatap lurus ke arah pepohonan di halaman rumahku. Cahaya lampu taman membuatnya terang.
“Maaf udah gak nepatin janji aku. Tadi aku ada urusan sama anak-anak band.” Alibi mu. Entah benar atau tidak, aku sudah tidak ingin mendengar alasan apapun. Sebelumnya kau tidak pernah melanggar janjimu.
“Iya gak apa-apa. Ini pertama kalinya, kan, kamu ngelanggar janji? Baru sekali, santai aja.” Kataku. Suaraku perlahan mulai bergetar.
“Maaf.”
“Udah lah gak apa-apa. Aku capek. Mau tidur. Kamu pulang aja. Kamu juga capek, kan?” aku masih menatap lurus ke depan. Membangun pertahanan sekuat-kuatnya agar cairan hangat itu tidak mengalir. Setidaknya untuk saat ini.
“Tapi kok, penampilan kamu berubah jadi…feminim?” tanyamu. Aku yakin kau baru saja memperhatikan penampilanku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Bukankah kau menyukai yang seperti ini?
“Ehm…bukan. Maksud aku, biasanya style kamu kan simple, bukan pake dress kayak gini.” Kali ini aku menatapmu. Kulihat kau yang sedang menggaruk tengkukmu.
“Udah lah gak penting. Aku capek. Mau tidur. Kamu pulang. Istirahat.” Sahutku asal lalu berdiri dari kursi dan berjalan ke dalam rumahku. Kau mengikutiku berdiri. Sampai saat aku hendak menutup pintu, kau mencegahnya.
“Shil, sekali lagi, maaf. Aku sayang sama kamu. Kamu cantik banget hari ini.” Ucapmu. Lalu aku langsung kembali menutup pintu. Dengan tangan bergetar, aku berusaha menguncinya.
Tiba-tiba saja aku sudah tidak mampu menopang tubuhku sendiri. Aku merosot. Meringkuk di balik pintu. Dengan memeluk lutut, air mataku turun dengan deras. Mengalir hingga menganak sungai di pipiku. Aku kangen kamu Kka..kangen kamu yang dulu.

*

Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikah diriku dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini…

“Kamu dimana?” tanyaku dari ujung telepon. Dapat kulihat kau berjalan menjauh dari meja yang sedang kau tempati dengan gadis itu. Di balik majalah GoGirl yang aku pegang ini, -kejadianya seperti 2 hari yang lalu. Disudut cafe, menguntitmu- air mata setitik demi setitik mulai mengalir. Akhir-akhir ini aku menjadi begitu lemah. Aku suka caramu membuatku menangis.
“Aku lagi kumpul sama band. Kenapa?” aku menarik nafas, menghembuskannya perlahan. Sejak kapan membohongiku menjadi salah satu hobimu?
“Nanti sore, jam 5, ke rumah aku. please. Aku tunggu kamu sampai kamu dateng.”
Klik.
Tanpa menunggu jawaban, aku menutup telepon. Kulihat kau memandang heran ke layar ponselmu, lalu kembali duduk di bangkumu yang semula. Memberi alasan yang masuk akal kepada gadis itu.
Dari mejaku, aku hanya berdoa. Agar hubungan kita bisa membaik. Menjadi seperti sedia kala. Setidaknya, jika nanti kita berpisah, aku berharap semua yang terbaik.
Tak perlu aku menghalangi wajahku menggunakan majalah, berjalan keluar dari café, setelah sebelumnya meletakkan selembar uang 20.000 dan selembar uang 10.000. kurasa cukup untuk membayar jus strawberry yang tadi kupesan. Aku tahu, kau tak mungkin mengetahui bahwa ini aku. Karena posisi dudukmu memunggungi pintu masuk café.

*

Ku ingin bertanya
Sungguhkah kau sayang aku?
Kadang aku pun meragu
Engkau tampak beda
Tak seperti dulu…

Aku terus menarikan jemariku di atas gitar kesayanganku ini. Membuat nada-nada untuk sebuah lagu yang sedang mejadi lambang hatiku. Dengan lirih, aku bernyanyi mengiringi nada dari petikan gitar itu.

Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikah diriku dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini…

Aku mengamati tiap tetes air hujan yang mebasahi jendela kamarku. Setiap tetesnya melambangkan air mataku. Sebanyak itu air mata yang ingin aku keluarkan untukmu. Aku melirik jam yang terparkir manis di meja riasku. Tepat di hadapanku. Sudah telat 2 jam. Aku masih menunggumu.

Ku tak pernah berfikir
Ada yang lain di hatimu
Tapi bila begitu adanya
Jangan kau membisu
Ungkapkan padaku….

Tepat saat itu, pintu kamarku terbuka. Dengan enggan aku melihat siapa yang datang. Doaku terkabul. Kau yang datang. Kau yang lalu, langsung duduk di samping kiriku. Aku memalingkan wajah, kembali menatap butiran-butiran air hujan yang mengaliri jendela kamarku.

Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikan dirimu dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini….

Takkan ada yang mampu
Menggantikan satu dirimu…..

Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikan dirimu dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini….

Aku terus bernyanyi. Memetik gitar. Tak menghiraukan kau yang sudah duduk di sampingku. Air mata ini dengan deras sudah menganak sungai.

“Shiiiil…….” Katamu. Lalu merangkulku. Mengecup keningku. gitarku jatuh, aku sudah tidak kuat untuk memegang gitar itu. Kondisiku sudah sangat lemah.
“Maafin aku.. kamu tau semuanya?” aku hanya mengangguk. Berharap kau yang akan jujur padaku. Kau yang akan menceritaan kejadian di café itu. Menceritakan semuanya.
“Aku khilaf Shil…” aku tidak mengindahkan ucapanmu. Aku diam menatap langit yang sudah tidak lagi menangis. Tapi hatiku masih menangis, walau air mata perlahan sudah mulai surut.
“Dia Ify, aku kenal dia udah 3 bulan, aku sama dia pacaran udah 3 minggu.” Rasanya saat itu juga aku ingin menamparmu. Tapi percuma, tak bisa mengeringkan luka ini.
“Aku bakal mutusin dia Shil. Aku lebih sayang sama kamu. Kamu segalanya buat aku.” lalu kau memegang kedua bahuku. Memaksaku untuk menatapmu. Menatap dalam-dalam kedua bola matamu yang bening itu. Sekali lagi, bening itu mengalir dari sudut mataku.
“Maafin aku, udah bikin kamu nangis.” Aku hanya mengangguk lemah. “Aku bakalan mutusin Ify dan jujur ke dia malam ini juga.” sebenarnya, aku tidak tega dengan gadis itu, karena sesungguhnya gadis itu pun tidak bersalah. Ah..tidak tahu juga, sih.
“Kemarin kamu pakai dress dan high heels itu, pengen kayak Ify? Kamu ngeliat aku sama Ify?” aku mengangguk lagi. Dapat kulihat penyesalan terpancar dari bola matamu.
“Gak apa-apa. Seenggaknya sekarang kamu udah jujur ke aku. dan kamu udah menyesali semuanya.” Lalu kau memelukku. Mengecup keningku. Kau kembali membuat bulu kudukku meremang. Aliran darahku berdesir tidak karuan. Jantungku berdetak 1km/detik. Kau telah kembali.
Lalu kau mengambil gitar yang tadi sempat terjatuh, memangkunya. Mulai menarikan jemarimu di atas senar-senarnya. Menciptakan nada yang berirama.

I don’t know how to speak for anyone
But my self you see darling there is nothing I can say
that will save you anyways
I’ll scream loud at the top of my lungs tonight
‘cause you know you will always be my light
Shooting stars could never be this bright
Do you know you always be my light?

Screaming out your name
I’m not used to this
There’s no turning back
There’s no going home

I won’t breathe until you just tell me everything is alright
I am not scared of losing this
I’m afraid of losing you
I’m sorry that this will not end
But can’t find the strenght to speak
‘cause on the calendar of your events, I’m last week
Keep your eyes closed and we’ll make it through another day alive
But if we sit here thinking we are just wasting precious time

So instead of thinking that were dead let’s take apart what we have left
Lay it out in front of us and take the tings that we don’t trust
Screaming out your name
I’m not used to this
There’s no turning back
There’s no going home

I won’t breathe until you just tell me everything is alright
I am not scared of losing this
I’m afraid of losing you
I’m sorry that this will not end
But can’t find the strenght to speak
‘cause on the calendar of your events, I’m last week
I don’t know how to speak for anyone
But my self you see darling there is nothing I can say
that will save you anyways
I won’t breathe until you just tell me everything is alright
I am not scared of losing this
I’m afraid of losing you
I’m sorry that this will not end
But can’t find the strenght to speak
‘cause on the calendar of your events, I’m last week
Darling there’s nothing I can say that’ll save you anyways

Aku tersenyum. Memelukmu. Aku tidak sanggup untuk kehilangan kau. Aku harap, kau pun sama.

*